Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #23

TENTANG HADIRNYA

Udara dingin pagi ini begitu menusuk. Biasanya, aku kembali menarik selimut dan kembali tidur. Namun, hari ini aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Sejak semalam pun aku sudah susah tidur. Belum pernah aku merasa gelisah seperti ini. Setelah satu tahun berlalu, tiba-tiba semua kenangan seolah kembali ke depan mataku. Kenangan-kenangan yang ingin kulupakan. Mulai dari pertengkaranku dengan Papa, suara tangis Mama, Samantha yang tidak pernah berkabar, dan kemarin Dika. Perasaanku jadi kacau!

Jam dinding menunjukkan waktu pukul lima kurang sepuluh menit. Anggi masih terlelap di kasurnya. Aku akhirnya memutuskan untuk bangun dan menuju kamar mandi. Selagi aku terbangun, sekalian saja aku wudu dan salat subuh. Biasanya, aku memang hampir tidak pernah salat subuh karena kesiangan.

Anggi terbangun ketika aku selesai salat.

“Kuliah pagi?” tanyaku sambil melipat peralatan salat.

“Nggak ada kuliah.”

“Mau ngurusin OS lagi?” Aku kembali bertanya.

Anggi malah kembali merebahkan tubuhnya. “Jadi panitia OS ternyata lebih capek daripada jadi pesertanya.” Anggi tersenyum getir. “Dulu gue kerepotan disuruh datang pagi. Ternyata, panitianya justru harus datang lebih pagi lagi. Gimana nggak capek?”

“Ya sudah. Kalau begitu, benar kata bokap lu. Mending lu mikirin kuliah aja, nggak usah ngurusin OS dan segala macamnya. Lagipula, emangnya harus, ya?”

“Nggak gitu juga, Stev. Sebagai mahasiswa senior, gue bertanggung jawab terhadap pembinaan ke mahasiswa junior. Kalo sebagai senior cuek, nanti mahasiswa junior bisa lembek, nggak bagus juga buat mereka. Mahasiswa lembek mau jadi apa?”

“Tapi, kalo elunya aja kerepotan, bagaimana elu mau membina junior-junior elu? Elu mau membina junior-junior elu, tapi elu sendiri keteteran sama kuliah elu. Membina diri sendiri aja belum bisa, kok, mau membina orang lain?” Aku mencoba berargumen.

Anggi menghela napasnya. “Lu memang nggak ngerti dinamikanya jadi mahasiswa, sih.” Nada suara Anggi seolah menyiratkan penyesalan.

Aku tersenyum saja.

“Ngomong-ngomong, tahun ini elu nggak coba ikut UMPTN lagi?” tanya Anggi.

“Gue saat ini mau konsentrasi kerja dulu aja,” jawabku.

Anggi menatapku. “Lu bener-bener nggak niat kuliah, ya?”

Aku tersenyum getir. “Duit dari mana buat kuliah?”

“Ya dari orang tua elu, lah!” ujar Anggi. “Maksud gue, meski elu nggak lulus UMPTN, tapi masak orang tua elu nggak mau ngusahain kampus swasta, sih?” Anggi tampaknya penasaran.

Aku menunduk. “Gue udah diusir sama orang tua gue.”

Anggi terbelalak. “Kok bisa?”

“Ceritanya panjang.” Aku menghela napas. “Apapun itu, life must go on, kan?”

“Kalo gue boleh saran, elu jangan terlalu sering berantem sama bokap lu. Serius.” Aku menambahkan.

“Lu rasain dulu punya bokap kayak bokap gue.” Anggi tidak mau kalah.

Aku tersenyum mendengar kata-kata Anggi. Dia belum kenal Papa, sih.

Lihat selengkapnya