Ayah Anggi menaruh sebungkus rokok di meja tamu rumah kos. Beberapa orang berkumpul di ruang tamu. Kedua orang tua Anggi, ibu kos, Anggi, dan aku!
“Sebelumnya Anggi tidak pernah merokok.” Ayah Anggi melirikku.
Aku menunduk. Anggi juga menunduk.
“Ayah tidak suka kalau kamu bergaul dengan orang-orang yang hanya akan memberikan pengaruh buruk buat kamu.” Nada suara ayah Anggi terdengar tegas.
Aku sendiri paham. Intinya, aku dianggap sebagai orang yang memengaruhi Anggi. Sepertinya karena ayah Anggi pernah beberapa kali memergoki aku yang sedang merokok. Aku kembali melirik Anggi yang sedari tadi hanya diam.
“Pada dasarnya, peraturan di sini pasti melarang penghuni untuk memiliki barang-barang yang dilarang secara hukum.” Ibu kos angkat bicara.
“Ayah nggak suka kamu merokok. Dulu kamu nggak begini.” Ayah Anggi kembali berujar.
Anggi lagi-lagi hanya diam.
“Maafkan saya, Om. Saya tidak ada maksud untuk memengaruhi Anggi sama sekali.” Akhirnya aku angkat bicara juga. Aku tahu posisiku di sini, yaitu sebagai tertuduh utama.
Aku melirik Anggi sekilas. Ia menunduk dan tampaknya tidak berani bersuara. Aku tadinya ingin mengatakan kalau aku sama sekali tidak pernah memengaruhi Anggi untuk merokok. Bahkan tidak ketika pertama kali kami bertemu. Anggi sendiri yang tahu-tahu meminta rokokku waktu itu dan ia tampak sudah “fasih” mengisap asap rokok, tidak seperti orang yang baru kenal rokok.
“Saya akan pergi dari sini,” ujarku. Aku memutuskan untuk mengalah saja. Biarlah ayah Anggi menganggapku sebagai pembawa pengaruh buruk bagi anaknya.