“Kang, apa di sini ada kamar kosong?” Aku ingat jika di belakang kafe ada tempat kos, milik Kang Ipung juga. Kang Ipung memang memiliki beberapa usaha.
“Mau pindah?” tanya Kang Ipung.
Aku mengangguk.
“Kenapa?” tanya Kang Ipung lagi. Kali ini ia menatapku dengan pandangan menyelidik.
“Ya … tidak apa-apa.” Aku mencoba mencari alasan. Aku jelas tidak mungkin mengatakan kalau aku diusir dari tempat kos yang lama. Reputasiku bisa jatuh.
“Kalau saya di situ, kan saya bisa datang lebih pagi.” Aku kembali mencoba memberikan alasan.
“Ya bisa aja, sih,” jawab Kang Ipung. “Tapi satu kamar sendiri, nggak bisa berdua.”
Aku terdiam. Membayar kamar sendiri, artinya aku harus merogoh kocek lebih dalam lagi.
“Kalau Teh Evie bersedia lembur, saya bisa kasih potongan harga.” Kang Ipung seolah tahu kegundahanku.
“Tapi nggak bisa banyak-banyak juga,” tambahnya.
“Iya, Kang. Tidak apa-apa.” Aku tidak punya pilihan. Kalau tawaran ini tidak kuambil, nanti malam mau tidur di mana? Pagi ini aku harus bekerja. Tidak ada waktu untuk berkeliling mencari tempat kos.
“Ya sudah, baiklah kalau begitu. Saya malah seneng karena ada yang jaga. Cuma….” Kang Ipung menggantung kalimatnya.