Kalau boleh jujur, tahun ini adalah masa-masa tersulitku. Sejak memasuki tahun 1998, banyak hal yang terjadi. Yang paling terasa, sih, kenaikan harga-harga. Seumur hidup, aku belum pernah merasakan kenaikan harga yang luar biasa seperti saat ini. Sebagai gambaran, ketika aku lulus SMA, harga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat paling hanya di kisaran fluktuatif antara 2000 hingga 3000-an rupiah. Namun, kini nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa mencapai 15.000 rupiah. Hanya dalam waktu dua tahun!
Belum lagi jika bicara politik. Duh, aku pusing jika harus memikirkannya. Aku merasa kalau kondisi tanah air semakin bergolak. Aku sudah mulai merasakannya semenjak masa-masa baru lulus SMA sebenarnya, ketika terjadi penyerbuan ke kantor salah satu partai politik di kawasan yang sering menjadi jalur membolosku. Dan kalau dipikir-pikir, dengan kondisi saat itu, keputusanku untuk pergi dari rumah memang nekat.
Tahun berikutnya, suhu semakin memanas. Mungkin karena tahun pemilu. Dan seharusnya itu adalah pemilu-ku yang pertama. Namun, karena aku tidak mungkin pulang, aku pun memilih untuk tidak memilih. Lagipula, aku memang tidak memercayai calon-calon yang ada.
Ah, sudahlah! Aku tidak mau membahas politik. Suasana kampanye yang panas saja sudah membuatku takut. Aku tidak peduli dengan itu semua karena yang terpenting bagiku adalah bisa menjalani hidup dengan tenang.
Saat ini, pemerintahan hasil pemilu kemarin sudah terbentuk. Meski bagiku sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Masih dengan presiden yang sama, juga anggota MPR dan DPR yang kurang lebih sama seperti periode sebelumnya. Kalaupun ada yang paling terlihat perbedaannya, itu adalah susunan anggota kabinet yang memang terdapat beberapa perubahan. Selain pastinya wakil presiden juga, ya. Namun, aku tidak terlalu berharap banyak pada pemerintah. Aku hanya berharap semua keriuhan yang terjadi kemarin berakhir sudah.
Sayangnya, harapanku sepertinya tidak terwujud. Karena suasana justru semakin memanas. Harga-harga yang naik drastis, misalnya. Dan pergolakan mahasiswa yang semakin ramai di kampus-kampus. Setidaknya, di dekat tempat kerjaku ada dua kampus besar yang sangat berpengaruh: ITB dan UNPAD. Gejolaknya begitu terasa. Entah sudah berapa kali aku membaca selebaran bernada provokatif yang menghujat pemerintah dan menuntut reformasi ditempel di tembok-tembok.
Aku sering menguping pembicaraan para pengunjung mahasiswa yang membahas masalah politik. Dan yang membuatku semakin was-was, beberapa kali aku memergoki pengunjung yang agak “aneh”. Bekerja selama hampir dua tahun di sini membuatku hafal dengan perilaku dan penampilan mahasiswa yang memang paling banyak berkunjung. Aku tidak bisa menjelaskannya. Namun, aku tahu persis mana yang mahasiswa dan bukan. Makanya, aku sering merasa khawatir dengan para pengunjung yang menurutku agak aneh tersebut.
Aku katakan aneh, karena sekilas penampilan mereka seperti mahasiswa. Namun, ada sesuatu yang membuatku yakin bahwa mereka sesungguhnya bukan mahasiswa. Semacam aura, mungkin. Ah … aku bingung menjelaskannya. Dan yang membuatku bertambah bingung, jika mereka bukan mahasiswa, mengapa mereka berlagak seperti mahasiswa?
Beberapa kali aku melihat pasukan bersenjata berkeliaran di sekitar kampus. Mungkin untuk mengatasi aksi unjuk rasa yang kerap dilakukan para mahasiswa karena keberadaan mereka biasanya berbarengan dengan unjuk rasa. Kadang unjuk rasa itu berakhir damai. Namun, ada kalanya berakhir ricuh. Kalau sudah begitu, mau tidak mau kafe terpaksa tutup. Akhirnya, karena khawatir dengan kondisi juga, setiap kali mendengar informasi akan adanya aksi unjuk rasa, Kang Ipung memutuskan untuk menutup kafe saja.
Kondisi tempat kerjaku sendiri mulai kembang-kempis. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena kenaikan harga. Beberapa menu terpaksa dikurangi takarannya. Beberapa lainnya yang kurang peminat akhirnya dicoret dari daftar. Harga-harga jualnya pun terpaksa dinaikkan. Tidak enak sebenarnya, karena di satu sisi takaran dikurangi, tetapi di sisi lain harga malah dinaikkan. Hanya saja, tidak ada pilihan lain.
Aku sudah beberapa kali terlambat menerima gaji. Namun, karena aku tinggal di kos milik Kang Ipung juga, aku kadang memanfaatkannya untuk bernegosiasi. Kang Ipung biasanya memberikan kompensasi berupa diskon sewa kamar lagi. Aku lumayan tertolong.
Ricki mulai menunjukkan kegelisahannya. Aku memakluminya karena ia menanggung biaya sekolah adiknya. Kang Ipung pernah memanggil para karyawannya termasuk aku dan Ricki untuk menjelaskan kondisi tempat kerja dan mempersilakan untuk mencari pekerjaan lain jika memang tidak puas dengan kondisi di sini. Aku sempat berpikir untuk mencari pekerjaan lain saja. Namun, dalam kondisi perekonomian sulit seperti sekarang, siapa yang mau membuka lowongan pekerjaan? Yang ada, justru banyak perusahaan yang “berlomba-lomba” memberhentikan karyawan mereka.
Seiring dengan memanasnya kondisi perpolitikan tanah air yang mau tidak mau memengaruhi kampus-kampus sekitar, Kang Ipung sempat mewanti-wanti agar kami—para karyawan—tidak usah terlibat dengan apapun aktivitas yang dilakukan para mahasiswa. Sekalipun kami mencuri dengar obrolan mahasiswa di kafe, jangan sekalipun berpikir untuk terlibat.
Aku sepakat dengan Kang Ipung. Aku juga tidak ingin terlibat apapun. Hingga suatu hari seorang mahasiswa datang ke kafe dengan wajah panik. Aku tahu dia mahasiswa karena sering melihatnya. Yang tidak aku tahu, mahasiswa itu ternyata teman sekampus Abby … dan mengabarkan kalau Abby menghilang!
“Hilang bagaimana, Kak Dedi?” Aku bertanya panik. Mahasiswa itu, namanya Dedi—begitu ia tadi memperkenalkan dirinya.