Beberapa hari berlalu semenjak kedatangan Dedi. Namun, Abby masih belum juga memunculkan batang hidungnya. Sebenarnya Abby juga tidak setiap hari datang ke sini. Aku pun juga tidak terlalu peduli karena kedatangannya biasanya malah membuatku repot. Namun, aku kini justru berharap-harap cemas menantinya.
Gara-gara cerita Dedi, aku kini menjadi lebih saksama memperhatikan tamu yang datang. Karena aku tiba-tiba teringat dengan beberapa tamu “aneh” yang sempat aku perhatikan—tamu-tamu yang bergaya mahasiswa, tetapi aku yakin kalau mereka bukan mahasiswa. Mungkinkah mereka itu intel?
“Teh Evie kenapa?” Ricki menangkap sikapku yang tegang.
Aku tidak menjawab.
“Abby nggak ada,” jawab Ricki.
“Aku memang nggak cari Abby, kok,” jawabku.
“Terus?” tanya Ricki lagi.
Aku kembali tidak menjawab. Aku mendadak diliputi ketegangan luar biasa. Bagaimana jika tahu-tahu aku juga diciduk karena sering berinteraksi dengan para mahasiswa?
Ah! Jangan berlebihan begitu, Stev!
“Permisi.” Seorang laki-laki berambut cepak tiba-tiba menghampiriku.
“Iyah?” jawabku.
“Anda pernah melihat orang ini?” Teman si cepak—yang juga berambut cepak—menunjukkan sebuah foto.
Jantungku mendadak berdegup lebih kencang.
“Pernah lihat tidak?” tanyanya sekali lagi.
Aku benar-benar gugup. Aku memang tidak mengenali orang dalam foto tersebut. Namun, aku takut jika aku sedang berhadapan dengan … intel! Bagaimana jika aku dibawa untuk diinterogasi? Bagaimana jika aku dicurigai macam-macam? Bagaimana jika....
“Mbak! Tolong jawab!” Si rambut cepak yang pertama kali menyapaku kembali berkata. Kali ini nada suaranya terdengar tegas.
Aku buru-buru menggeleng. “Tidak kenal, Pak.”
“Benar?” Pria itu menatapku.
Aku kembali menggeleng.
“Ya sudah. Terima kasih, ya.” Pria itu dan rekannya kemudian berlalu.
Aku pun menarik napas lega.
“Siapa itu?” Ricki bertanya dengan ekspresi biasa-biasa saja.
Aku melirik Ricki, jengkel dengan sikapnya yang tidak sensitif itu.