Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #28

ERA BARU

Suasana tanah air semakin memanas. Setidaknya, itulah yang aku lihat dari siaran berita di televisi. Tanggal 12 Mei 1998 adalah salah satu pemicu rentetan peristiwa-peristiwa selanjutnya yang membuat kondisi semakin tidak menentu. Karena, pada saat itu terjadi peristiwa penembakan mahasiswa di kampus Trisakti yang menyebabkan empat orang mahasiswa meninggal. Setelahnya, suasana semakin memanas. Aksi solidaritas terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Bandung. Orasi-orasi kerap digelar oleh mahasiswa dengan pita hitam di lengannya. Dunia pendidikan berduka.

Namun, bukan itu yang menjadi pangkal kecemasanku. Karena peristiwa yang terjadi setelahnya benar-benar di luar dugaan. Terjadi kerusuhan massal, penjarahan di mana-mana, dan sentimen terhadap penduduk keturunan etnis tertentu meningkat drastis.

Khawatir dengan kerusuhan, Kang Ipung menutup kafe selama beberapa hari—untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Tanggal 14 Mei 1998, ketika kerusuhan sudah memasuki hari kedua, aku segera menelepon rumah orang tuaku di Pondok Kelapa. Tentu saja aku panik. Dan semakin panik ketika tidak ada satu pun yang mengangkat telepon dariku. Toh, aku belum menyerah. Keesokan harinya aku kembali menelepon, dan tetap tidak ada yang mengangkatnya. Telepon dariku akhirnya baru diterima pada keesokan harinya lagi. Itu pun yang mengangkat Bi Darmi. Aku sudah lega ketika Bi Darmi mengatakan bahwa orang tuaku baik-baik saja karena saat ini mereka sedang berada di Singapura. Yang membuatku kaget adalah, mereka berada di Singapura untuk pengobatan Mama!

Tanggal 21 Mei 1998 tampaknya menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Karena, pada hari itulah Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Pengunduran Presiden Soeharto menandai runtuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Era reformasi pun dimulai.

Dalam kacamataku sendiri, ini memang peristiwa bersejarah karena aku tidak pernah memiliki bayangan ada presiden Indonesia selain Soeharto. Dari sejak aku kecil, jabatan presiden Indonesia sudah dijabat Soeharto. Mengganti Soeharto dengan orang lain tampaknya tidak ada dalam benak anak-anak seusiaku.

Pengunduran diri Soeharto adalah puncak dari segala unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa yang eskalasinya semakin meningkat setelah Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Aku sendiri melihat dari televisi betapa gedung MPR/DPR riuh dengan ribuan mahasiswa dengan warna-warni jaket almamaternya. Mereka—para mahasiswa itu—menduduki gedung MPR/DPR, bahkan dalam arti sebenarnya karena mereka benar-benar duduk di atas atap gedung yang berbentuk seperti kura-kura itu. Para mahasiswa tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya ketika mendengar pengunduran diri Soeharto. Beberapa bahkan melakukan sujud syukur hingga menangis haru. Tampaknya babak baru sejarah negeri ini akan dimulai.

Meski demikian, aku tidak ikut bergembira dengan perubahan yang terjadi. Maksudku, bukannya aku tidak peduli dengan nasib bangsa ini. Hanya saja, kabar yang kudengar dari Bi Darmi, bahwa Mama tengah berada di Singapura untuk berobat, benar-benar membuatku syok. Itu sebabnya hari ini aku memilih untuk berlari ke warung telepon umum terdekat demi menelepon ke Jakarta—untuk kesekian kalinya. Aku membutuhkan privasi … untuk mendamprat Sam!

“Mama sakit apa? Kenapa lu nggak kasih tahu gue?” Aku menumpahkan seluruh emosiku di telepon. Akhirnya aku bisa juga berbicara dengan Sam. Beberapa hari sebelumnya, Sam tidak bisa pulang ke rumah karena kerusuhan yang terjadi. Akibatnya, ia terpaksa menginap berhari-hari di rumah temannya yang kebetulan cukup dekat dari sekolah. Baru hari ini ia berani kembali ke rumah.

Lihat selengkapnya