Malam ini Coblong begitu dingin. Aku pun sebenarnya ingin meringkuk di kamar saja berbalutkan selimut. Namun, pesan dari Abby yang mendarat di pager membuat kakiku bergerak melangkah keluar.
Aku mendekap jaketku erat-erat sambil menyusuri Jalan Dago. Tadi, Abby mengajakku bertemu di dekat perempatan jalan, di depan sebuah jalan kecil menuju sebuah kafe yang sudah lama berdiri dan cukup terkenal di kawasan ini. Tidak biasanya ia mengajakku “berkencan” di tempat elite seperti itu.
Cahaya lampu jalan berpadu dengan kerlip kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang. Beberapa warung kaki lima berdiri tepat di atas trotoar dan menyita beberapa ruang yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Aku pun beberapa kali turun ke aspal jalanan karena trotoar yang sudah tidak mungkin lagi bisa dilewati.
Aku terus berjalan sambil menunduk dan memandangi sepatu olahragaku yang mulai jebol. Aku memang sudah lama tidak membeli sepatu. Uang dari mana? Toh, sepatuku juga masih bisa kugunakan. Ukurannya tidak bertambah sejak dua tahun yang lalu. Masih berukuran 36. Kakiku memang kecil meski badanku agak gempal.
“Hei, Anak Gajah! Kalau berjalan jangan menunduk. Nanti nabrak, loh!”
Sebuah suara membuatku menghentikan langkah. Kepalaku langsung menengadah. Dan senyum tengil pemuda yang kini berambut cepak itu pun segera menyambutku.
Aku langsung pura-pura memasang wajah cemberut.
“Ngapain, sih, elu panggil-panggil gue?”
Abby tertawa. “Kamu sendiri juga nyamperin aku.”
Aku pun tidak bisa memasang wajah pura-pura lagi. Jujur, aku sebenarnya senang bertemu dengannya.
“Makan, yuk?” ajak Abby.
Aku mengangguk.
“Di….” Abby mengantung ucapannya sambil tangannya menunjuk ke suatu arah.
Aku mengikuti telunjuk Abby yang tertuju ke kafe, yang kemudian bergeser lagi ke sebuah warung kaki lima.
“…situ saja.” Abby tertawa.
“Kirain mau ngajak gue ‘candle light dinner’.” Aku mencibir.
Abby kembali tertawa. “Nanti saja kalau aku mau me ….” Suara Abby terputus oleh deru kendaraan yang tiba-tiba lewat.
“…kamu!”
“Apa?” Aku tidak jelas mendengarnya.
“Nggak apa-apa.” Abby malah langsung meraih tanganku.
“Yuk!” ajaknya sambil menarikku.
Aku pun mengikutinya.
Akhirnya kami makan berdua di sebuah warung yang menyajikan menu makanan Sunda. Daun-daun untuk lalapan sudah tersedia. Teh tawar hangat juga sudah disajikan. Tinggal menunggu menu utama saja yang tadi kami pesan.
“Kemarin aku dan anak-anak yang ditangkap pas demo dipanggil lagi ke kantor polisi.” Abby mulai membuka obrolan.
“Terus?” tanyaku.
“Semua masalah yang kemarin selesai.”