Tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi di sepanjang jalan dari rumahku di Pondok Kelapa menuju Rawamangun—daerah sekolahku dulu. Masih ramai seperti dua tahun yang lalu. Malah lebih ramai—meski mungkin ini hanya perasaanku. Hanya saja, pemandangan di sekelilingnya tak urung membuatku bergidik.
Sisa-sisa bekas kerusuhan masih terlihat. Beberapa coretan cukup mengganggu pandangan mata dengan kalimat-kalimatnya yang kasar. Tak jarang aku pun mengernyit ketika membaca coretan lain di tembok yang tidak bernada menghujat, tetapi menegaskan identitas tertentu. Aku menduga jika coretan tersebut adalah untuk melindungi diri agar tidak diserang meski coretan-coretan tersebut juga berpotensi mengarah pada fitnah seolah pelaku kerusuhan adalah kelompok tertentu.
Starlet merahku masih lincah berkelit di antara kendaraan yang berlalu lalang di pagi menjelang siang ini. Beberapa barang belanjaan titipan Mama tergeletak di jok belakang. Aku memang tadi menawarkan diri untuk berbelanja kebutuhan sekalian mencuri waktu untuk berkeliling melihat kondisi kota yang sempat porak-poranda beberapa waktu yang lalu.
Sebuah mal di kawasan Klender berdiri tegak nan gagah, tetapi isinya kosong melompong. Guratan hitam tampak di tembok-temboknya, pertanda bahwa gedung tersebut juga menjadi sasaran amuk para perusuh.
Menurut cerita Bi Darmi, banyak orang yang terjebak di dalam ketika mal mulai terbakar. Beberapa menganggap mereka adalah penjarah dan karenanya tak sedikit yang menyumpah-nyumpahi mereka—bahwa apa yang mereka alami adalah yang sudah sepantasnya mereka dapatkan sebagai penjarah. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mereka sengaja diprovokasi dan dijebak untuk masuk, kemudian mal dikunci dan dibakar begitu orang-orang sudah berada di dalamnya. Entah versi mana yang benar. Satu hal yang pasti, tragedi tersebut menyisakan duka mendalam bagi para keluarga korban.
Aku mengarahkan kemudi menuju Pondok Kelapa. Sudah cukup jalan-jalanku hari ini. Mama pasti sudah menantiku di rumah.
…
“Ini, Bi.” Aku mengeluarkan barang belanjaan dari dalam mobil. Bi Darmi dengan sigap membawanya.
Tadi Bi Darmi sebenarnya juga sudah belanja di pedagang sayur langganan yang setiap hari lewat depan rumah. Hanya saja, ada beberapa kebutuhan yang harus dibeli di luar. Terutama beberapa jenis sayuran yang diminta Mama.
“Ada yang bisa dibantu, Bi?” Aku menawarkan bantuan ketika Bi Darmi mulai mengeluarkan bahan-bahan yang ia butuhkan untuk memasak.
“Nggak usah, Non,” ujar Bi Darmi sambil mengeluarkan kentang dan wortel dari dalam plastik.
“Mau saya kupasin, Bi?” tawarku sekali lagi. Dan kali ini, tanpa menunggu jawaban Bi Darmi, aku segera mengambil pisau dan mulai mengupas wortel dan kentang tersebut.