Tahun berganti. Namun, aku belum juga mendapatkan ide akan kampus yang tepat untuk kuliah. Sam semakin sibuk dengan kegiatan belajar di sekolah. Pengayaan, les-les tambahan, try out, persiapan PMDK, dan UMPTN juga. Aku jadi teringat tiga tahun yang lalu ketika aku seusia Sam. Hanya saja, aku waktu itu tidak terlalu serius karena tujuanku hanyalah lulus SMA dan pergi dari rumah.
Kini aku kembali lagi ke rumah. Kenyataan memang seringkali tidak sesuai harapan dan aku sedikit menyesal kenapa dulu aku tidak seserius Sam dalam merencanakan masa depanku sendiri.
Tawaran (atau perintah?) Papa agar aku kuliah malah membuatku bimbang. Aku tidak suka sekolah; aku tidak suka duduk manis sambil belajar dan membaca buku seperti anak-anak rajin kesayangan guru. Menjalani perkuliahan berarti mengulangi masa-masa sekolah yang menjemukan seperti dulu.
Namun, ucapan Papa juga ada benarnya. Jika aku tidak memiliki ijazah sebagai sarjana, bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak? Dan jika aku tidak memiliki pekerjaan layak, bagaimana aku bisa menghidupi diriku sendiri? Hanya saja, aku ragu apakah aku bisa mengikuti kuliah.
Kring … kring….
Telepon rumah tiba-tiba berdering. Aku segera mengangkatnya.
“Halo?” sapaku.
“Halo. Selamat pagi. Bisa bicara dengan Stevie?” ujar suara di seberang sana.
“Iya?” Aku terkejut tiba-tiba ada yang mencariku.
“Stevie-nya ada?” tanya suara di seberang lagi.
“Iya. Saya sendiri.” Aku berusaha mengingat-ingat suara tersebut.
“Oh! Ini Stevie, ya?” Suara di seberang terdengar girang.
“Iya. Ini siapa, ya?” Aku masih bingung.
“Elu lupa suara gue, ya?”
“Emm … siapa, ya?” Aku benar-benar tidak ingat.
“Ini Galuh! Gal! Masak lupa, sih?”
Aku kembali terkejut. “Oh! Ya ampun! Gal!” Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku. Aku benar-benar senang bisa terhubung kembali dengan sahabat lamaku.
“Apa kabar? Lu udah balik dari Yogya?” Aku benar-benar girang.
“Mumpung libur. Lagipula gue udah nggak banyak kuliah, kok.”
“Eh,” ujar Gal lagi. “Ketemuan, yuk!” ajaknya.
“Iya! Boleh! Boleh!”
“Di mana?” tanya Gal.
“Emm….” Aku berpikir.
“Mau di Depok?” tawar Gal.
“Di Depok?”
“Iya. Sekalian ketemu Olivia. Kan, dia kuliah di UI.”
“Oh, iya!”
“Di Depok, ya? Sekalian reuni,” tawar Gal. “Ntar gue kabari lagi.”
“Sip lah!” Aku sepakat
…
Suasana kantin kampus siang ini ramai dengan para mahasiswa yang tengah menyantap makan siangnya. Aku menghadap ke mangkuk berisi bakso, bakwan, tahu isi, dan pernak-pernik lainnya yang biasa terdapat pada menu bakso Malang. Gal sibuk dengan pecel ayamnya, sedangkan Olivia tengah berkonsentrasi dengan sate ayam di piringnya. Minuman kami sama, yaitu es kelapa muda dicampur susu dan sirup cocopandan berwarna merah. Ini adalah minuman kesukaan Olivia di kampus dan ia menyarankan agar kami juga mencicipinya.
Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berpisah. Kami pun melepas rindu dengan saling bercerita tentang apa saja. Mulai dari OSPEK hingga unjuk rasa, mulai dari kuliah hingga rencana kerja ke depan. Gal dan Olivia sudah memasuki semester enam, sebentar lagi semester tujuh dan mulai memikirkan rencana untuk tugas akhir. Andai saja ada Veby, reuni ini akan lengkap.
“Gue pengen banget mengulangi masa-masa OSPEK.” Gal mencolek potongan ayam gorengnya ke sambal.
“Kenapa?” tanyaku.
“Lucu, seru, gue suka,” ujarnya sambil tertawa. “Ada gojlogannya juga, sih. Tapi senior-senior itu kalo ngerjain lucu. Misalnya, disuruh merayu pohon. Pokoknya lucu-lucu deh. Belum lagi logat senior-senior gue yang Jawa medok abis. Mungkin karena gue orang Jakarta kali, ya. Jadinya gue merasa lucu dan nggak serem ketika mereka bentak-bentak.”
“Begitu, ya?” Aku semakin penasaran mendengarnya. Sebab, aku ingat pembicaraan terakhirku dengan Gal sebelum berangkat kuliah. Kami sempat membahas tentang OSPEK.
“Tapi mungkin karena gue juga nggak ngerti bahasa Jawa. Soalnya, ada salah satu temen gue yang nangis. Kayaknya, sih, dia orang Yogyakarta asli. Gue nggak ngerti kenapa dia nangis. Lalu, setelah acara selesai, dia bilang kalo seniornya itu ngomong kasar. Dan muka gue lempeng karena gue nggak ngerti bahasa Jawa.” Gal tertawa.
Kami pun ikut tertawa.