Papa menyodorkan sebuah map berisi beberapa lembar berkas ke hadapanku.
“Apa ini, Pa?” Aku membaca deretan huruf yang paling mencolok di map tersebut: Tangerang International University.
“Coba kamu cari tahu ke situ. Siapa tahu ada jurusan yang kamu minati,” jawab Papa.
Aku membuka map tersebut yang berisi berbagai informasi tentang sebuah perguruan tinggi swasta elite di Tangerang. Elite, setidaknya terlihat dari gambaran fasilitas-fasilitasnya yang memang sangat mewah, dan … wow …! Aku memelotot demi melihat deretan angka untuk biaya kuliahnya per semester.
“Pa, ini serius?” Aku melongo.
“Tidak masalah,” jawab Papa.
“Tapi … ini, kan?” Aku duduk di samping Papa sambil menunjukkan tabel berisi angka yang jumlahnya benar-benar membuatku terbelalak.
“Tidak masalah. Kan, seperti yang dulu pernah Papa bilang. Bahwa pendidikan anak-anak Papa adalah tanggung jawab Papa.”
Aku terdiam. Jujur, aku takut mengecewakan Papa. Bagaimana jika aku kembali “kumat” tidak serius belajar seperti dulu?
“Empat tahun,” ujar Papa tiba-tiba.
“Empat tahun?” Aku bingung.
“Itu waktu yang Papa berikan untuk menyelesaikan kuliahmu. Bisa, kan?” tanya Papa.
Aku tidak menjawab. Sungguh, aku benar-benar bimbang.