Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #35

LEBIH AWAL

Seperti yang sudah kuduga, aku lulus ujian seleksi. Papa terlihat lega dengan statusku yang sekarang: mahasiswa. Dan sebaliknya, aku kembali galau seperti ketika dulu aku duduk di bangku SMA.

Aku berhasil mendapatkan tempat juga di daerah Karawaci. Tepatnya flat yang memang banyak bertebaran di sana. Aku lebih suka dengan suasana flat yang jauh lebih bebas daripada rumah kos.

Ada satu hal yang paling aku khawatirkan sebenarnya, yaitu Mama. Bahkan, penyakit Mamalah—yang hingga sekarang aku belum tahu—yang mendorongku untuk kembali dari Bandung. Kini, aku harus pergi lagi dari rumah. Mama berusaha meyakinkan diriku kalau ia tidak apa-apa. Namun, tetap saja aku khawatir. Apalagi, tahun ini Sam pun pergi dari rumah. Lalu siapa yang akan menjaga Mama?

Aku memarkirkan mobilku di tempat biasa. Hari ini adalah waktu untuk pendaftaran ulang setelah surat penerimaan mendarat di rumahku. Jadwal pendaftaran ulang untuk mahasiswa baru tertulis pukul delapan hingga sepuluh pagi. Kemudian dilanjutkan dengan pengarahan dari pihak kampus untuk seluruh mahasiswa baru. Jam di tanganku sendiri sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Tampaknya kebiasaan terlambatku mulai kambuh lagi.

Ah … tidak apa-apalah! Toh, ini baru pendaftaran ulang. Lagipula, memangnya ada acara penting apa, sih, setelah pendaftaran?

Ruang aula untuk pendaftaran ulang tampak kosong. Tampak beberapa deret meja dengan papan keterangan bertuliskan fakultas dan jurusan yang sudah ditinggal penjaganya. Untungnya, ada beberapa orang yang terlihat sedang membereskan perlengkapan di atas meja. Aku pun menghampiri mereka.

“Permisi, daftar ulangnya di mana, ya?” tanyaku kepada kedua muda-mudi yang aku tebak sepertinya adalah mahasiswa.

Mereka berdua menatapku.

“Mau daftar ulang?”

Aku mengangguk.

“Wah, kok, terlambat, sih?” celetuk salah satu dari mereka.

“Elu ke sana aja. Pemberkasan di situ semua.” Salah satu dari mereka berkata sambil menunjuk ke sebuah gedung lain di samping aula.

“Terima kasih.” Aku tersenyum.

Aku segera menuju gedung tersebut dan menuju ke sebuah ruangan yang penuh dengan orang-orang yang sedang membereskan berkas. Ruang Tata Usaha Kemahasiswaan. Begitu tulisan yang tertera di pintunya.

“Permisi, apa di sini tempat untuk mendaftar ulang?” Aku mengetuk pintu.

Salah seorang pria menatapku dengan pandangan mendelik. Ia sepertinya salah satu pegawai tata usaha.

“Kenapa kamu terlambat?” ujarnya dengan suara keras. Tampaknya ia sedikit kesal.

“Ya sudah. Sini. Mana berkasnya. Kamu jurusan apa?”

“Arsitektur, Pak.” Aku menghampiri pria itu dan menyerahkan berkas-berkasku.

“Ayo duduk,” perintahnya.

Aku lalu duduk di hadapan pegawai pria itu sambil menunggu ia memproses semua dataku. Setelah pria itu mengetik semua yang dibutuhkan ke dalam komputer, ia lalu menyerahkan sebuah berkas kepadaku.

“Tolong simpan semua berkasnya, ya. Sama itu juga ada lembaran jadwal untuk masa orientasi. Tolong dibaca baik-baik jadwalnya. Untuk pengarahan awal, silakan menuju ruang auditorium di lantai dua. Itu acaranya sudah mulai dari tadi jam sepuluh. Ini sudah jam setengah sebelas. Ayo cepat, nanti kamu ketinggalan!” perintahnya lagi.

“Baik, Pak.”

Aku segera melesat ke lantai dua. Sebuah ruang besar terletak di salah satu sisi. Pintunya ada tiga. Aku mengintip melalui jendela kecil di pintu depan. Tampak beberapa orang dewasa berpakaian rapi tengah berada di depan kelas. Sepertinya mereka adalah para petinggi kampus ini. Salah seorang dari mereka tampak berdiri. Ia tengah memberikan pengarahan rupanya. Benar kata pegawai tata usaha tadi, acara sudah dimulai.

Aku segera beringsut ke pintu paling belakang. Dalam situasi seperti ini, menyelinap diam-diam di barisan paling belakang adalah pilihan terbaik. Pelan-pelan, aku membuka pintu auditorium. Suara deritnya tidak terdengar. Entah karena pintunya memang bagus, atau tenggelam dengan riuhnya acara. Meski demikian, kehadiranku tak urung menarik perhatian beberapa orang yang duduk di belakang.

“Permisi.” Aku berbisik sambil tersenyum.

Seorang mahasiswa yang duduk di belakang bergeser dan mempersilakan aku duduk di sampingnya. Aku menoleh ke belakang. Lalu, tak sengaja aku menangkap beberapa mahasiswa senior—aku menebaknya dari kalung name tag yang mereka kenakan—seolah memperhatikanku. Salah seorang di antara mereka bahkan tampak berbisik ke temannya. Aku tidak suka dengan cara mereka memandangku. Namun, aku memilih untuk tidak memedulikanya.

Acara masih berlangsung. Masih mendengarkan paparan dari—entah—apakah itu dosen, dekan, rektor, atau pemilik kampus. Aku tidak kenal, dan tidak peduli juga. Dan sejujurnya aku bosan. Inti dari materi yang disampaikan pun klise. Bahwa kami, para mahasiswa baru, harus mampu menjadi agen perubah, berkontribusi nyata di masyarakat dengan ilmu yang dimiliki, bertanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu, kemudian….

Lihat selengkapnya