Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #36

LAGI-LAGI MASALAH

Hari-hariku sebagai mahasiswa akhirnya dimulai juga. Tentu saja diawali dengan OSPEK seperti umumnya di kampus lain. Aku pernah melihat OSPEK di ITB. Aku juga sudah mendengar seperti apa OSPEK di UI maupun UGM.

Sebenarnya, aku cukup antusias menyambut OSPEK. Hanya saja, semua buyar ketika aku terlambat di hari pertama karena bangun kesiangan. Dan itu justru karena aku terlalu lelah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh panitia.

Aku sendiri tidak menyangka jika tugas yang diberikan begitu banyak dan itu baru diberitahukan setelah acara pembukaan kemarin. Ada empat makalah yang harus aku buat. Tiga tahun meninggalkan bangku pendidikan jelas membuatku gagap membuat tulisan. Selain itu, pernak-pernik OSPEK juga membuatku repot. Aku besok harus mengenakan seragam berupa kemeja putih lengan panjang dan celana hitam bukan jins yang ujungnya harus berjarak lima belas sentimeter di atas mata kaki. Atributnya? Topi karton lancip, name tag karton ukuran A4 dengan tali rafia untuk digantungkan di leher, kaos kaki tebal selutut dan sepatu olahraga yang talinya harus diganti dengan warna merah muda. Ya. Panitia menetapkan tema pink untuk OSPEK tahun ini. Oh, iya. Jangan lupa dengan tas ransel yang terbuat dari karung beras. Juga kalung dengan pernak-pernik permen sebanyak sepuluh buah berbeda jenis dengan bandul biskuit.

Kemeja putih tentu aku punya. Namun, celana hitamnya harus aku jahit terlebih dahulu hingga berjarak lima belas sentimeter di atas mata kaki. Lalu aku juga harus mencari bahan-bahan untuk atribut lainnya. Kertas karton dan tali rafia berwarna merah muda memang banyak dijual di toko. Begitu juga dengan biskuit dan permen. Namun, aku jelas kesulitan mencari kaos kaki dan tali sepatu merah muda, apalagi karung beras.

Akhirnya, sepulang dari acara pembukaan kemarin, aku—dan beberapa teman yang aku ajak kenalan—terpaksa harus mencari dulu barang-barang tersebut. Tiba di flat malam hari. Dan aku masih harus membuat semua pernak-pernik tersebut, serta makalah. Lepas tengah malam aku baru bisa tidur. Itu pun setelah aku menyerah karena tidak bisa membuat makalah. Hanya satu yang bisa aku kerjakan, itu pun aku mengarang.

Semakin runyam ketika kami tidak diperbolehkan membawa kendaraan memasuki area kampus. Aku terpaksa memarkir mobilku di parkiran luar, lalu berjalan kaki menuju kampus yang jaraknya jauh. Dan sudah bisa ditebak, aku pun “tertangkap” oleh petugas patroli acara.

“Heh! Jam berapa ini?”

Salah satu panitia OSPEK menghardikku. Beberapa lainnya mengelilingiku.

“Jam sepuluh,” jawabku.

“Elu tahu, kan, harus datang jam enam pagi?” Suara senior itu semakin meninggi.

Aku tidak menjawab. Iya, aku juga tahu kalau aku terlambat parah.

“Kenapa terlambat?” tanya panitia yang lain.

“Bangun kesiangan.” Aku menjawab jujur.

“Kenapa kesiangan?”

“Capek bikin tugas.”

“Oh, jadi elu nyalahin kita?” Suara panitia OSPEK itu meninggi.

Aku diam saja.

“Teman-teman elu pada bisa datang pagi, tuh. Bilang aja elu yang malas,” timpal panitia yang lain.

Aku kembali tidak menjawab.

“Karena terlambat, elu harus dihukum!”

Lihat selengkapnya