Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #37

ORIENTASI

Hari pertama OSPEK tidak berlangsung mulus karena keterlambatanku yang memang parah. Aku terpaksa menahan malu berjalan dari halaman menuju ruang kelas sambil berteriak dengan pengeras suara.

“GUE BENGEK!”

Aku terus berjalan dambil berteriak hingga tiba di sebuah gedung. Beberapa panitia menoleh ke arahku.

“Hei, Bengek! Sini lu! Cepat!” Salah seorang dari mereka memanggilku.

Aku segera menghentikan teriakanku dan segera menghampirinya. Ternyata itu Dissa.

“Kenapa lu?” hardiknya.

“Saya terlambat.” jawabku.

“Eh! Elu bisa sopan, nggak? Panggil kami dengan sebutan ‘Kak’!” Panitia OSPEK yang mengawalku tiba-tiba membentak.

Aku tersentak.

“Gue perhatiin dari tadi, elu kayak nggak ada respek sama kita.” Ia kembali menyembur.

Aku pun menunduk. “Maaf … Kak.” Aku mengalah saja daripada urusannya semakin panjang.

“Kemarin elu terlambat. Sekarang elu terlambat lagi. Kebiasaan, ya?” Ia membentak. “Ayo ikut.”

Aku pun berjalan menuju sebuah ruangan. Sayup-sayup terdengar suara nyanyian dan teriakan yel-yel dari dalam aula. Namun, Dissa malah menarikku ke sebuah ruang lain yang lebih kecil.

“Berapa menit keterlambatan elu?” tanyanya.

Aku segera menghitung. Jika jadwal kegiatan dimulai pukul enam pagi dan aku baru datang pukul sepuluh, berarti aku terlambat empat jam, yang artinya 240 menit.

“Buset! Banyak amat?” Dissa terbelalak.

“Maaf, Kak.” Aku menunduk.

“Di sini, setiap satu menit keterlambatan akan ditandai sebanyak satu coretan di wajah.” Dissa memanggil beberapa panitia yang ada di ruangan. “Tolong kasih anak ini sebanyak 240 coretan di wajah.”

“Hah? Mana cukup?” Salah seorang panitia OSPEK terbelalak.

“Ya kalo nggak cukup, kalian lukis saja seluruh wajahnya!” Dissa terkekeh.

Setelah wajahku selesai dilukis, aku berjalan menuju pintu aula. Aku disuruh menunggu hingga sesi berakhir. Ternyata, di sana ada seorang mahasiswa juga. Ia duduk menghadap tembok.

Aku segera duduk di sampingnya. Ia menoleh. Aku pun bisa melihat wajahnya yang juga penuh coretan. Meski tidak separah wajahku yang sudah seperti badut tentu saja. Rambutnya tampak kemerahan. Entah warna asli atau cat, karena justru sepadan dengan wajahnya yang mirip bule.

Melihatku, ia tersenyum.

“Elu terlambat juga?” Mahasiswa itu berbisik bertanya padaku.

“Iya,” jawabku, sambil berbisik juga. Jangan sampai para senior tahu kalau kami mengobrol.

“Faldo.” Ia memperkenalkan diri, tentu dengan berbisik, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

“Stevie”. Aku menjawabnya, lalu menyambut salamannya.

“Hei! Siapa yang menyuruh kalian bicara?” Salah seorang panitia berteriak. Ternyata ia mendengar kami.

Kami kembali diam.

“Geser!” perintahnya.

Lihat selengkapnya