Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #38

MASIH ORIENTASI

Hari kedua, aku berusaha datang lebih pagi. Bagaimanapun, aku tidak ingin mengulangi kejadian kemarin. Pukul setengah enam, aku sudah di kampus. Sempurna. Bahkan, aku yang pertama datang. Seharusnya ini menjadi catatan prestasi buatku. Sayangnya, Dissa sepertinya tidak terkesan. Ia dan beberapa panitia OSPEK yang memang datang lebih pagi malah mengerubungiku dengan tatapan sinis.

“Tumben elu datang pagi?” Nada suara Dissa terdengar menyindir.

Aku berusaha tersenyum.

“Nah, karena elu yang datang pertama, elu harus menyambut teman-teman elu dong,” ujar Dissa, yang disambut tawa oleh panitia yang lain.

“Maksud … Kakak?” Aku benar-benar tidak mengerti.

“Kamu ke gerbang, naik kursi, lalu sapa dan lambaikan tangan ke seluruh teman-temanmu yang datang. Mengerti?”

Aku melongo.

“Ayo dong! Kamu harus menyambut teman-temanmu. Harus kompak, ya!” Dissa terkekeh.

Aku benar-benar tidak habis pikir. Melanggar peraturan, kena hukuman. Tidak melanggar pun kena dikerjai juga. Serba salah.

Toh, aku lakukan juga perintahnya. Aku malas ribut. Bagiku, yang penting OSPEK segera selesai.

Aku menuju gerbang, naik kursi, dan mulai menyapa teman-temanku yang datang.

“Selamat pagi, Teman-teman.” Aku melambaikan tangan ke mereka. Aku jadi teringat dengan Pak Arif yang dulu selalu menyambutku (dan teman-temanku) di gerbang sekolah setiap pagi, dan sering kami kerjai. Ah … aku jadi menyesal. Jangan-jangan ini karma buatku.

Pukul enam pagi, aku turun dan ganti para panitia yang menjaga gerbang untuk merazia peserta OSPEK yang terlambat.

Acara dimulai dengan senam pagi, diiringi lagu-lagu populer dan gerakan konyol. Kami diharuskan untuk mengikuti senior yang menjadi instruktur.

“Ayo! Cium ketiak kalian! Wangi, kan? Enak, kan?” ujar si instruktur.

Setelah senam pagi, acara selanjutnya adalah sesi materi di dalam kelas. Jika hari pertama materi dilakukan secara umum di kelas besar, pada hari kedua materi dilakukan berkelompok di kelas-kelas kecil. Sepertinya ini juga simulasi perkuliahan yang akan kami ikuti nantinya.

Hari ini, suasana makan siang sedikit tegang. Pasalnya, panitia menyediakan menu istimewa: petai.

Para mahasiswa baru langsung panik. Petai sepertinya memang momok karena baunya yang menyengat. Apalagi para mahasiswa yang mendaftar di sini tampaknya memang bukan dari kalangan yang menyukai petai.

Aku tentu saja bukan termasuk yang panik dengan menu petai. Karena, aku menyukainya! Terima kasih kepada Abby yang dulu pernah mengenalkan petai kepadaku. Dan kenyataannya, petai itu memang enak, kok! Maka, ketika mahasiswa lain begitu panik menghadapi petai, aku santai saja menyantapnya.

“Eh … elu suka, ya?” Seorang mahasiswi berparas cantik menyolek lenganku dan berbisik.

Aku menoleh. “Enak, kok,” jawabku pelan. Aku tidak ingin kejadian kemarin siang terulang gara-gara kami dianggap terlalu ribut.

“Mau makan punya gue, nggak?” tawarnya.

Aku memelotot.

“Ini….” Ia dengan cepat menyodorkan beberapa biji petai yang sudah dikupas ke piringku.

“Gue juga, ya?” pinta mahasiswi lain yang juga berada di sebelahku.

Aku tentu saja tidak masalah menerima limpahan petai dari mereka. Toh, mau makan berapa butir pun baunya tetap sama!

“Kenapa dengan muka kalian? Pada nggak doyan makan?” bentak salah seorang panitia. Sepertinya ia mulai menangkap kegelisahan para mahasiswa baru yang takut dengan petai.

“Pada nggak doyan petai, ya?” hardik panitia yang lain.

Lihat selengkapnya