“BENDERA SETENGAH TIANG UNTUK MAHASISWA BARU”
Judul berita di sebuah harian nasional pada kolom “Pendidikan” membuatku terhenyak. Berita tersebut menyoroti tragedi tewasnya seorang mahasiswa baru di salah satu kampus swasta.
Artikel pun berlanjut dengan liputan kegiatan penerimaan mahasiswa baru—OSPEK—yang terjadi di berbagai kampus. Hampir semuanya berisi testimoni yang tidak mengenakkan. Ada yang mengeluh dibentak-bentak, ada yang bercerita pingsan karena disuruh berguling-guling, dan berbagai kejadian lainnya. Mahasiswa yang beberapa waktu sebelumnya dipuji sebagai pahlawan reformasi kini menjadi sasaran kecaman bertubi-tubi. Di mana moralitas dan intelektualitasnya?
Aku menutup koran dan memasukkannya ke dalam tas. Aku sendiri juga korban. Namun, aku memilih untuk tidak membicarakannya. Urusanku dengan panitia OSPEK sudah selesai.
Insiden yang kualami berbuntut panjang. Gara-gara kejadian itu, pelaksanaan OSPEK dievaluasi. Hasilnya, kampus melarang kegiatan semacam OSPEK untuk tahun berikutnya.
Panitia OSPEK dan mahasiswa senior yang terlibat mendapatkan sanksi. Dissa mendapat sanksi skorsing selama dua semester. Sebagai ketua panitia, ia dianggap lalai. Lainnya mendapatkan sanksi selama satu semester. Hampir seluruh panitia terkena sanksi. Kecuali Marsha dan anggota tim kesehatan di bawahnya.
Aku sempat membahas hal ini dengan Marsha. Dan kami sepakat jika yang terjadi selama OSPEK yang lalu sebenarnya masih lebih baik daripada yang terjadi di banyak kampus lain. Bahkan Marsha merasa bahwa senioritas yang terjadi di SMA dulu lebih parah.
Hanya saja, TIU adalah kampus swasta dengan biaya kuliah sangat mahal yang nominalnya jauh di atas rata-rata kampus lain. Tak sedikit pesohor dan anak orang penting yang kuliah di sini. Insiden sekecil apapun dapat menjadi preseden buruk.
Kampus sepertinya tidak ingin mengambil risiko. Reputasi adalah segalanya. Makanya, sanksi keras pun dijatuuhkan kepada para panitia OSPEK. Kampus tentu tidak ingin kasus ini bocor ke masyarakat. Pun kalau bocor, kampus pasti ingin meyakinkan publik bahwa para pelaku sudah diberikan sanksi yang setimpal.
Masa perkuliahan sudah dimulai. Para mahasiswa sudah mulai serius mengikuti perkuliahan termasuk para mahasiswa baru. Meski tentu saja hari-hari pertama lebih banyak diisi dengan perkenalan, pemilihan ketua kelas, serta pembagian silabus dan daftar buku yang harus dibaca.
Aku tengah berjalan menuju tempat parkir ketika mataku menangkap sosok yang sangat kukenal di kampus ini. Dissa. Ia tampak menatapku.
“Gue harap elu puas.” Dissa tersenyum sinis.
“Kenapa? Karena elu kena skorsing?” ujarku. Aku sudah tidak takut lagi padanya—dari dulu pun sebenarnya aku tidak pernah takut.
“Jujur, deh. Kalo elu ada di posisi gue, memangnya elu nggak akan melakukan hal yang sama?”