“Hai!” Seseorang tiba-tiba duduk di depanku.
Aku segera menengadah dari silabus perkuliahan yang sedari tadi kubaca.
“Masih ingat gue, kan?” Gadis cantik itu tersenyum ketika aku menatapnya.
Aku balas tersenyum. Tentu saja aku ingat. Ia adalah mahasiswa seangkatanku yang aku “selamatkan” dari petai pada saat OSPEK. Namanya Feta—kalau aku tidak salah lihat name tag-nya waktu itu.
“Ada apa?” Aku kembali menunduk, membaca lembaran-lembaran silabus perkuliahan.
“Nanti malam ikut, yuk?” ajaknya.
“Ke mana?” Aku masih berkonsentrasi dengan silabusku.
“Party-lah!” ujarnya bersemangat.
Eh?
“Ah, gila, lu! Sebentar lagi UTS[1] malah ngajak party.” Aku tertawa.
“Wah, kok, nggak gaul, sih?” Nada suara Feta seperti mengejek.
Aku kembali tertawa. Pada bulan-bulan awal perkuliahan ini aku memang suka menyendiri. Aku memang perlu menyesuaikan diri. Bukan hanya karena perkuliahan, tetapi juga merasa canggung dengan teman-teman seangkatan yang rata-rata berusia tiga tahun lebih muda dariku.
“Nih!” Feta menyodorkan sebuah kertas karton berukuran separuh kertas A4.
Aku membacanya:
You are invited! Please come and join to our night to remember!
“Apaan, nih?” Aku mengernyitkan dahi.
“Stevie, elu masak nggak tahu, sih, ‘tradisi’ di sini?” ujar Feta.
“Tradisi apa?” Aku memang tidak tahu.
“Anak-anak sini punya tradisi bikin ‘rave party’ setiap mau ujian,” jelas Feta.
“Oh ya?”
“Iya!” jawab Feta.
Aku mengembalikan kertas tersebut.
“Simpen aja. Itu buat pass.”
“’Pass’ apaan?” Aku masih bingung.
“Elu ikut, kan?” tanya Feta.
Aku menatap Feta. Terus terang, aku sudah lama meninggalkan hal-hal semacam itu. Dua tahun lebih lontang-lantung sambil bekerja serabutan di Bandung, mana sempat bersenang-senang?