Berpesta pora menjelang ujian memang konyol! Namun … aku menyukainya! Setidaknya, hal itu bisa membuatku terlepas dari stres akibat belajar. Toh, aku bisa mengerjakan soal ujian dengan lancar. Aku, kan, bukan orang bodoh. Bandel mungkin iya. Namun bodoh? Aku berani diadu dengan siapa pun yang merasa pintar!
Kuliah di TIU membuatku kembali ke “kehidupan asal”. Bahkan jauh lebih menyenangkan dibanding SMA. Di sini, aku bisa melakukan apapun tanpa takut dimarahi. Membolos, nongkrong, pesta, bersenang-senang, dan … memakai “barang”. Keuanganku membaik seiring dengan adanya uang jajan lagi dari Papa. Itu belum termasuk dengan beberapa proyek di kampus yang kadang aku ikuti juga untuk menambah rekeningku. Tentu saja dengan bayaran yang jauh di atas gaji pelayan kafe.
Aku senang dengan kehidupan kampusku. Aku senang bersama teman-temanku. Faldo, Feta, Alyne, dan Donny. Ini mengingatkan pada masa SMA ketika aku mendapatkan sahabat gara-gara masa orientasi. Bedanya, kali ini aku lebih bebas. Menjadi mahasiswa … artinya aku bebas!
Aku sendiri jadi ketagihan party. Setiap akhir pekan selepas jam kuliah di hari Jumat, aku pasti sudah “kabur” dengan teman-teman satu gank untuk berburu party. Habis satu party, lanjut ke party yang lain. Begitu terus dan baru tiba di rumah hari Minggu pagi. Lalu aku tidur sampai sore. Begitulah “ritualku” di kampus sekarang.
Berpesta pora sebagai mahasiswa membuat masa-masa kuliahku seolah tidak terasa. Kuliah, mengerjakan tugas, kemudian party. Semakin “menggila” ketika tiba masa ujian. Sebelum dan sesudah ujian pasti kami sambut dengan party.
Jika aku bosan dengan kuliah, aku tinggal cabut saja lalu pergi ke club atau bahkan ke Puncak. Dan kenyataannya, aku memang sering bosan dengan kuliah. Malas rasanya mendengarkan ceramah dosen yang menurutku monoton. Buang-buang waktu saja.
Dihukum karena bolos? Memangnya anak SMA? Aku sebenarnya cukup rajin di awal kuliah. Hanya saja, tampaknya penyakit bolosku kambuh. Tapi kampus juga tidak memedulikan absensi. Yang penting, tugas terselesaikan dan hadir pada saat ujian, tentunya dengan nilai baik. Toh, di luar kampus pun aku menyempatkan diri untuk belajar, kok. Aku bukan anak malas. Hanya tidak cocok dengan aturan harus duduk manis di dalam kelas.
Semester demi semester kulalui dengan mulus tanpa ada satu pun mata kuliah yang harus diulang. Janjiku ke Papa untuk selesai dalam waktu empat tahun bukan hal yang sulit. Aku pasti bisa melakukannya.
…
Tok … tok … tok….
Aku terbangun mendengar pintu flat diketuk.
“Stevie?” Sebuah suara dari luar memanggilku.
Malas-malasan, aku bangkit dari sofa. Kepalaku masih sakit akibat pesta semalam. Sudah lewat tengah hari, tetapi aku masih ingin tidur.
“Stevie?” Suara itu kembali memanggil.
“Iya! Sebentar!” Aku akhirnya membuka pintu juga.
Yohan langsung tersenyum begitu melihatku keluar. Yohan adalah teman seangkatanku. Ketika masa-masa OSPEK dulu, ia didapuk sebagai ketua angkatan. Orangnya memang serius dan karakter kepemimpinannya terlihat kuat. Setelah OSPEK berakhir, kami masih menganggapnya sebagai ketua angkatan, yang artinya ia harus rela menjadi seksi sibuk sebagai penghubung antara mahasiswa dan birokrasi kampus.
“Masuk saja.” Aku mempersilakannya masuk.
Yohan celingukan. Ekspresinya tampak sungkan. Mungkin karena hanya ada aku sendiri di flat.
“Pintunya dibuka saja, ya?” Yohan akhirnya masuk juga.
Aku mengangguk. Ditutup pun tidak apa-apa. Di flat ini, adalah hal biasa melihat para mahasiswa tinggal bersama, termasuk dengan lawan jenis. Aku sendiri sudah cukup sering melihat para penghuni berpindah kamar karena putus dengan pacar. Hanya saja, Yohan adalah pemuda baik-baik yang tidak terbiasa dengan kehidupan serba bebas.
“Ada apa?” tanyaku.
Yohan tidak menjawab. Namun, ia langsung mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Dari kampus,” ujarnya. “Jumat kemarin gue mau kasih ke elu, tapi elunya udah nggak ada.”
Aku mengambil dan membaca tulisan yang tertera pada amplop.
Kepada Sdri. Stephany Silvia Marlina
Tanpa membuang waktu, aku segera membuka amplop tersebut dan membaca isinya.