“Tolong jelaskan apa ini?” Papa menaruh surat peringatan itu di meja ruang tamu.
Aku mengambilnya dengan ogah-ogahan. Sepertinya salah satu surat teguran dari kampus melayang ke rumah orang tuaku, dan dibaca Papa. Hasilnya, aku hari ini terpaksa meladeni Papa yang tiba-tiba melakukan inspeksi mendadak ke Karawaci.
“Kamu sering membolos, ya?”
“Memangnya itu masalah?” Aku balik bertanya.
“Ya jelas masalah! Karena itu artinya kamu nggak serius kuliah!” Suara Papa meninggi.
Aku menatap Papa. Dulu, ketika masih sekolah, aku selalu menunduk ketakutan jika Papa mulai marah seperti ini. Namun, kini aku sudah berani mendebat Papa.
“Pa, komponen kehadiran itu nggak banyak. Cuma lima persen. Itu tidak berpengaruh kalau Evie sanggup mengejar komponen penilaian yang lain. Dan kenyataannya, IPK Evie nggak jelek-jelek amat, kok.” Aku melawan.
“Kalau kamu nggak masuk kelas, terus kamu belajar di mana? Siapa yang mengajari kamu? Memangnya kamu nggak butuh dosen?” Papa balik bertanya.
Aku menunduk, dan berusaha mencari argumen lain.
“Papa membayari kamu kuliah mahal-mahal itu supaya kamu serius belajar. Kalau kamu nggak kuliah, terus nanti kamu mau jadi apa?”
Aku kehilangan kata-kata.
“Vie, kapan, sih, kamu mau bertanggung jawab sama diri kamu sendiri?” tanya Papa.