Libur panjang ini akhirnya aku gunakan untuk bepergian ke Bandung. Bersama teman-teman kuliahku, tentu saja. Kami menumpang Kia Carnival milik Feta yang memang cukup untuk memuat banyak orang: aku, Faldo, Alyne, Donny, dan tentu saja Feta sendiri. Yang menyetir bergantian antara Faldo dan Donny. Aku dan Feta juga bisa menyetir sebenarnya. Namun, kedua laki-laki itu sepertinya merasa terlalu gengsi untuk menyerahkan kemudi kepada wanita.
Rencananya, di Bandung nanti kami akan menginap di rumah Alyne yang kosong di daerah Dago. Kami lewat jalan tol Jakarta-Cikampek, lalu keluar di Purwakarta dan mulai menyusuri jalanan naik-turun yang berliku. Alyne sepertinya tidak kuat dan akhirnya ia meminta berhenti di pinggir jalan karena ingin muntah.
“Hoek!” Alyne memuntahkan isi perutnya. Hanya keluar air karena kami memang belum makan siang.
Aku menepuk pundak Alyne agar ia merasa lebih enak.
“Mau cari makan dulu sekalian? Sudah hampir jam dua nih.” Faldo menunjukkan jam tangannya.
Kami sepakat. Setelah kembali ke mobil, kami pun pasang mata untuk mencari rumah makan yang ada di pinggir jalan. Rumah makan “Ibu Haji”, begitu kami menyebutnya, karena memang itulah yang langsung terlihat di papan namanya—kami tidak memperhatikan nama setelah “Ibu Haji”.
“Ayo,” ajak Feta.
Kami pun keluar dari mobil dan segera menuju ke dalam rumah makan. Nasi, lauk pauk, lalapan, dan sambal mentah langsung terhidang.
“All you can eat!” ujar Donny.
“Bayarnya belakangan,” timpal Faldo.
Kami pun tertawa.
“’A, ada petai?” Tiba-tiba Feta bertanya kepada pemuda yang tengah menyiapkan piring.
“Ada. Sebentar, ya,” ujar pemuda itu. Ia kemudian melesat ke dapur dan kembali dengan beberapa renteng petai goreng.
“Gue baru tahu kalo elu suka petai.” Donny heran.
“Bukan buat gue, tapi Stevie.” Feta langsung menyodorkan piring berisi petai goreng itu ke hadapanku.
Aku terbelalak. Teman-temanku langsung tertawa.
“Kok elu ingat aja sih pas gue makan petai?” Toh, aku tetap saja mengupas satu biji dan melahapnya.
“Gue sih ingatnya pas elu disetrap dengan pose aneh-aneh,” timpal Faldo.
“Ya iyalah, Do. Elu kan di samping Stevie terus waktu itu,” ujar Donny.
Cieeee….
Aku tak menanggapi omongan mereka. Karena, petai ini justru mengingatkanku pada Abby. Dulu, Abby yang mengenalkanku pada petai. Dan ia juga yang pertama kali menyuruhku mencicipi petai. Apa kabarnya sekarang, ya?
…
Kami benar-benar menghabiskan waktu untuk bersenang-senang selama di Bandung. Setiap malam kami selalu tancap gas. Berburu konser, party, atau sekedar hang out. Energi kami seolah tidak ada habisnya. Kebiasaan kami hinggap dari kafe ke kafe selama di Tangerang dan Jakarta benar-benar terpuaskan di sini. Bandung memang surganya dunia musik dan hiburan.
Kami biasanya baru pulang dini hari, menjelang subuh, atau bahkan pagi hari. Kemudian tertidur pulas, antara capai dan mabuk. Lalu bangun kesiangan keesokan harinya. Begitu terus. Dan kami pun sejenak melupakan hidup.
Aku sendiri memang ingin melarikan diri. Banyak yang aku pikirkan. Mulai dari perkuliahan yang entah kenapa mulai mempermasalahkan ketidakhadiranku, Papa yang mulai memprotes perilakuku di kampus, dan … tentu saja Mama. Apa kabar Mama, ya? Aku hampir saja melupakannya karena terlalu larut dengan kehidupan kampus.
Pagi ini aku bangun lebih awal. Teman-temanku masih pulas di kamar masing-masing. Aku berjalan ke depan hingga jalan besar di mana banyak kendaraan berseliweran. Sebuah angkot berhenti di depanku. Namun, aku tidak berminat untuk menaikinya. Aku lebih memilih berjalan kaki saja sambil menikmati udara pagi.
Mataku tertumbuk pada sebuah warung bubur ayam pinggir jalan yang penuh dengan orang. Perutku yang mulai keroncongan pun mendorong kakiku untuk melangkah ke dalam. Mungkin sekalian saja aku belikan sarapan untuk teman-temanku.
“Maaf.” Aku nyaris menubruk seorang pemuda yang kebetulan juga akan masuk warung.
“Nggak apa-apa,” jawab pemuda itu.
Aku yang tadinya agak menunduk pun spontan menengadahkan kepalaku. Begitu juga dengan pemuda itu. Dan….
“Stevie?” Pemuda itu terkejut melihatku.