“Nomor handphone-mu berapa, sih?” tanya Abby di sela-sela makan siang bersamaku.
“Punya handphone, kan?” Abby memastikan.
Aku mengeluarkan telepon genggamku dan menyebutkan sederet angka. “Telepon saja ke sini.”
“Aku kayaknya perlu ganti nomor.” Abby mengeluarkan telepon genggamnya dan mengetik nomorku. “Supaya aku bisa kirim SMS[1] ke handphone kamu.”
“Ngapain? Sekarang kayaknya udah bisa kirim SMS antar provider, deh,” kataku.
“Masak?” Abby tidak percaya.
“Coba saja,” ujarku sambil menghabiskan kuah bakso. Lingkungan sekitar ITB masih rindang seperti dulu, cocok untuk melindungi diri di siang yang terik seperti ini.
Beep … beep….
Aku membuka pesan di teleponku. “Tuh, bisa, kan?” Aku menunjukkan layarnya kepada Abby.
“Iyah! Ternyata sudah bisa.” Abby tersenyum senang.
“Makanya, rajin-rajin baca berita, dong.” Aku mengejeknya.
Abby tertawa.
“Tapi biayanya masih mahal. Pulsaku berkurang 500 rupiah, nih,” keluh Abby.
“Ya terserah saja kalau mau ganti provider. Gue, sih, males,” ujarku.
Beep … beep….
Telepon genggamku kembali berbunyi. Ada sebuah pesan lagi yang masuk. Aku pun segera membukanya. Dan seketika aku langsung panik!
“Ada apa?” Abby menangkap kepanikan di wajahku.
“Mama….” Kata-kataku terputus.
“Kenapa?”
“Gue harus ke Jakarta sekarang juga!”
…
Aku memutuskan untuk mempersingkat liburanku di Bandung begitu membaca SMS dari Sam yang mengabarkan kalau Mama masuk rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, aku langsung kembali ke rumah Alyne, mengemasi barang-barangku, dan berburu tiket kereta api ke Jakarta hari itu juga. Mungkin karena khawatir melihatku panik, Abby pun memutuskan untuk menemaniku.