Kampus hari ini ramai karena sudah memasuki masa penerimaan mahasiswa baru. Angkatanku banyak yang ambil bagian sebagai panitia. Aula hampir setiap hari ramai dengan para pendaftar. Program-program studi sibuk berpromosi. Organisasi-organisasi kemahasiswaan di kampus pun tak ketinggalan ambil bagian.
Badan Eksekutif Mahasiswa tampak menggelar display di salah satu sudut. Majalah dinding mereka memajang beberapa foto kegiatan yang pernah dilakukan. Tak terkecuali kegiatan penerimaan mahasiswa baru, termasuk yang dulu pernah aku ikuti.
Beberapa teman seangkatanku yang menjadi aktivis tampak tersenyum-senyum ketika melihatku. Tentu saja! Karena fotoku—dengan berbagai pose memalukan—termasuk yang dipajang di majalah dinding. Aku heran, kok ada saja yang waktu itu sempat-sempatnya memotret, ya?
“Nah! Ini dia, nih, salah satu ‘artis’ kita,” goda Yohan. Yohan memang sering aktif di kegiatan kemahasiswaan. Ia kini menjadi ketua panitia penerimaan mahasiswa baru.
“Ciyeeee….”
Mahasiswa lain yang berada di pos BEM ikut menyoraki. Beberapa calon mahasiswa baru pun ikut menoleh. Aku tersenyum geli. Padahal banyak artis dan fotomodel yang kuliah di sini. Namun, ternyata justru aku yang dianggap “maskot”.
“Stevie?” Yohan mendekatiku.
“Ya?”
“Elu benar-benar nggak bisa bergabung jadi panitia?” Yohan bertanya.
Aku menggeleng. Itu adalah pertanyaan Yohan yang kesekian kalinya. Ia memang sering membujukku untuk ikut bergabung menjadi panitia OSPEK.
“Gue berharap banyak ke elu,” lanjut Yohan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena elu, kan, korban OSPEK. Sebagai korban, mungkin elu bisa kasih masukan ke kita, sebaiknya acara OSPEK itu kayak gimana?”