Lembaran Indeks Prestasi Sementara milikku tergeletak begitu saja di meja kafe. Dengan salah satu mata kuliah bernilai “E” yang membuatku harus mengulang tahun depan. Dan membuatku bertengkar dengan Papa. Aku benar-benar lelah.
“Hei.” Faldo tahu-tahu duduk di depan berhadapan denganku.
“Hai.” Aku balas menyapanya ogah-ogahan.
Faldo menatapku, tetapi aku tidak memedulikannya. Aku sudah tahu kalau ia menyukaiku. Hanya saja, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat. Aku juga tidak pernah menyatakan rasa suka. Dan ketika aku memperkenalkan Abby di Bandung, seharusnya ia sudah bisa memahami posisinya.
Namun, Faldo sepertinya tidak mau mengerti. Faldo seolah ingin menjadi Don Juan dengan “menaklukan” diriku. Aku akhirnya risih juga. Sekaligus heran. Maksudku, kenapa ia tidak mendekati Feta saja yang fotomodel—dan jelas-jelas lebih cantik?
“Ada masalah apa?” tanyanya.
Aku menggeleng. Kertas laporan indeks prestasi aku masukkan ke dalam tas.
“Muka elu suntuk,” ujar Faldo lagi.
Aku tidak menanggapi. Aku tidak tertarik untuk curhat, apalagi dengan Faldo. Sejak mengetahui kalau ia tengah “PDKT[1]”, aku sengaja menghindar agar tidak terkesan memberi harapan.
“Eh, elu mau nyobain sesuatu, nggak?” Tiba-tiba ia berkata.
Aku diam saja.
“Yah … siapa tahu bisa bikin elu happy. Elu mungkin perlu sesuatu untuk melupakan masalah,” lanjut Faldo.
“Apaan, sih?” Aku penasaran juga. Kalau itu bisa membuatku melupakan masalah, mengapa tidak?
“Tapi, gue nggak bawa barangnya,” ujar Faldo lagi.
Aku menaikkan alisku.
“Agak mahal tapinya. Mau?” Ia kembali menawarkan.