Pemeriksaan yang berlangsung maraton benar-benar membuatku lelah. Aku, dan orang-orang yang ditangkap, diharuskan untuk menjalankan tes urine. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya, tetapi aku langsung dibawa ke sebuah ruangan untuk menjalani interogasi. Sepertinya barang yang kubawa memang benar-benar menarik minat mereka.
Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dan aku menjawab semuanya dengan jujur. Entah apakah mereka percaya. Kalaupun tidak, aku juga tidak peduli. Karena hidupku sudah hancur. Terserah mereka mau apakan diriku.
Tadi aku diberi kesempatan untuk menelepon. Dan aku malah bingung. Terus terang aku tidak berani menelepon Papa. Bukan hanya karena pertengkaranku dengannya beberapa waktu yang lalu, tetapi juga karena aku tidak ingin membebani keluargaku yang tengah bersedih dengan penyakit Mama. Apalagi, aku memang sampah keluarga yang bisanya hanya merepotkan.
Aku akhirnya memilih untuk menelepon Abby. Setidaknya, ia pernah punya pengalaman dipenjara juga. Sayangnya, Abby tidak menjawab teleponku. Jadi, aku meninggalkan pesan suara saja. Entah apakah ia akan membukanya. Aku juga tidak peduli. Toh, aku sudah tidak punya masa depan lagi.
…
Waktu serasa terhenti ketika aku mulai menghuni sel tahanan. Aku sudah tidak lagi menghitung detik demi detik waktu yang berlalu semenjak penangkapanku. Aku benar-benar seperti mayat hidup; antara ada dan tiada, dan antara hidup dan mati.
Aku menjalani segala macam prosedur hingga mati rasa. Mulai dari interogasi hingga pameran barang bukti di hadapan para wartawan pada saat press release. Entah sudah berapa kali aku diseret keluar, dipakaikan penutup kepala, kemudian dipajang di hadapan banyak orang dengan tangan diborgol.
Aku benar-benar seorang pesakitan yang tidak ada harganya. Kemudian pertanyaan ini kembali menghampiri kepalaku: apa yang aku lakukan di sini? Hanya saja, kini aku sudah punya jawabannya: TIDAK ADA. Ya. Aku tidak pernah melakukan apa pun, kecuali merepotkan orang lain, mempermalukan keluarga, dan menyebabkan Mama sakit.
“Stephany Silvia Marlina!” Tiba-tiba namaku dipanggil.
Aku langsung berdiri dan berjalan mendekati pintu sel. Seorang petugas membuka pintu dan menarikku keluar. Ia menggiringku ke suatu tempat. Mungkin ada pemeriksaan lagi. Atau konferensi pers untuk liputan berita kriminal.
Petugas itu membawaku ke sebuah ruangan. Aku masih menunduk ketika dibawa masuk. Hingga sebuah suara membuatku terkejut. Aku pun menengadahkan kepalaku.
“Evie?” Si pemilik suara itu mengulanginya. Ternyata Papa! Juga Mama yang berada di samping Papa.
Aku menatap keduanya dengan pandangan kosong. Lidahku kelu dan kakiku gemetar.