Kasus yang menimpaku terus bergulir. Entah sudah berapa lama aku berada di tahanan. Aku tidak menghitungnya. Mungkin sudah beberapa bulan. Dengan begini, sudah pasti kuliahku terbengkalai. Bukan hanya satu mata kuliah, tetapi sepertinya aku harus mengulang SELURUH mata kuliah dalam satu semester. Itu juga kalau aku tidak dipecat dari kampus.
Kegiatanku kini adalah bolak-balik ke persidangan. Bagiku ini sangat melelahkan. Jadwal persidangan yang padat membuatku sering menunggu berjam-jam. Bahkan, tak jarang sidang berujung pada penundaan. Entah karena berkas yang kurang lengkap atau saksi yang tidak hadir, dan permasalahan-permasalahan teknis lainnya. Entahlah. Aku hanya berharap agar sidang ini segera selesai. Aku sudah bertekad untuk menerima apa pun hukuman yang dijatuhkan kepadaku. Aku benar-benar lelah.
Selama proses pemeriksaan, aku tidak berani berbohong di depan penyidik. Aku takut urusannya menjadi bertambah panjang jika aku berbohong. Jadi, aku jujur saja dan apa adanya. Aku lelah dan ingin menyudahi semuanya. Dan aku masih percaya dengan karma. Aku tidak mungkin meloloskan diri dari kesalahanku. Pun jika aku lolos dari sini, aku akan tertangkap di tempat lain. Jadi, aku berpikir lebih baik “kuselesaikan” saja semuanya di sini sehingga aku bisa memulai lembaran yang baru.
…
“Sudah siap, Vie?” Abby menggenggam tanganku. Kami berdiri berhadap-hadapan dengan jeruji besi sebagai pemisahnya. Hari ini, hakim akan menjatuhkan vonis untuk kasusku.
Aku mengangguk. Selain Papa, Abby adalah orang yang paling sering menjengukku di tahanan. Lebih tepatnya, satu-satunya. Abby memang sangat banyak membantu. Aku pun paham mengapa Papa begitu menyukainya.
“Gue ingin ini semua segera selesai,” jawabku lirih.