Ketokan palu hakim yang menyidang kasusku membuatku lega luar biasa. Dua tahun, dipotong masa tahanan. Aku memang masih harus menjalani hukuman—dan itu cukup lama menurutku. Namun, aku tetap bersyukur. Menurutku tidak terlalu berat. Jadi, aku langsung menerimanya. Setidaknya, aku tidak dijatuhi hukuman mati, kan? Bahkan hukuman ini sudah sangat ringan.
Aku tidak terbukti sebagai pengedar. Aku juga tidak terbukti mengkonsumsinya. Sebaliknya, aku dianggap sebagai korban. Selama proses berlangsung, aku selalu menujukkan sikap yang baik, dan menunjukkan penyesalan juga. Aku juga tidak berbelit-belit ketika memberikan keterangan. Mungkin aparat jadi terkesan dengan sikapku.
Satu-satunya yang aku khawatirkan hanya kuliahku—selain Mama tentunya. Entah apakah aku masih bisa melanjutkan kuliah setelah menjalani hukuman ini. Papa memang tengah mengusahakan agar aku tidak dikeluarkan dari kampus. Menurut Papa, ada celah untuk mengajukan cuti kuliah. Namun, jika itu tidak berhasil, Papa akan mencarikan kampus lain agar aku tetap bisa menjadi sarjana. Aku jadi merasa bersalah terhadap Papa karena itu artinya Papa akan mengeluarkan uang lagi. Akan tetapi, Papa—sekali lagi—meyakinkan aku bahwa pendidikan bagi anak-anaknya adalah tanggung jawabnya, apapun yang terjadi.
Beberapa petugas menghampiriku ketika sidang usai. Salah seorang di antaranya mengeluarkan borgol dan mengikat kedua tanganku. Aku melirik ke barisan pengunjung. Tampak Mama duduk di kursi roda. Aku sedih Mama harus melihat semua ini. Sam yang mendorong kursi roda Mama. Papa terlihat tegar meski matanya berkaca-kaca.
Aku melempar senyum kepada mereka ketika para petugas menggiringku menuju mobil tahanan. Untuk pertama kalinya aku merasa berat berpisah dengan keluargaku. Hanya saja, aku tidak punya pilihan selain bersabar hingga beberapa waktu ke depan untuk bisa kembali berkumpul bersama mereka. Terutama sekali Mama. Aku berharap semoga masih bisa bertemu dengannya di hari kebebasanku nanti.
Aku ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Tangerang dan ditempatkan di sebuah sel bersama dua orang lainnya. Hidupku terasa ironis. Dulu, aku selalu menginginkan kehidupan bebas sebebas-bebasnya tanpa terikat aturan apapun. Kini, aku tidak punya kebebasan sama sekali.
Selama berada di dalam penjara, hidupku benar-benar diatur, bahkan mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ada berbagai kegiatan yang harus aku jalani. Ada banyak aturan yang harus aku patuhi juga. Dan aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.
Meski demikian, aku bersyukur karena di sini aku diperlakukan dengan baik. Aku tidak punya masalah dengan tahanan lain. Mereka bilang aku terlalu pendiam. Beberapa sipir yang berjaga memuji perilaku dan sikapku yang benar-benar patuh.
Aku banyak merenung selama berada di penjara. Berpikir tentang banyak hal. Terutama tentang karma, karena mungkin ini memang karma yang harus aku terima. Bu Fransiska, guru bimbingan konseling di sekolahku dulu, pernah berkata bahwa hukuman itu seseungguhnya bukan sekadar hukuman, melainkan untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik lagi. Aku tidak pernah mengindahkan kata-katanya karena menurutku yang terpenting adalah sanggup menanggungnya. Dan aku tak pernah menyangka jika di kemudian hari aku harus menanggung hukuman yang begini berat.
Sekarang aku di sini. Di dalam penjara. Dibatasi tembok, pagar dan aku harus merelakan semua kebebasanku. Aku harus menerimanya sebagai konsekuensi atas perbuatanku. Aku hanya berharap mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan memulai hidupku yang baru.
Papa sering menjengukku. Kadang, ia ditemani Sam. Namun, aku tidak pernah bertemu Mama. Kesehatan Mama semakin menurun dan Papa khawatir kesehatannya akan semakin memburuk jika melihat keadaanku.
Sean tidak pernah menjengukku. Tentu saja ia mengetahui kasusku. Namun, ia seperti tidak peduli. Mungkin ia malu memiliki adik sepertiku. Mungkin ia takut reputasinya di tempat kerja hancur. Aku biarkan saja, toh, aku juga tidak peduli padanya.
“Stephany Silvia Marlina.” Seorang penjaga tiba-tiba memanggil namaku.
“Ya?” jawabku.
“Ada yang ingin bertemu.” Ia memberi tahu, kemudian membuka pintu selku.
Aku berdiri dan menghampirinya. Ia kemudian menggiringku ke ruang berkunjung.
“Hai, Anak Gajah.” Sebuah suara menyapaku.
Aku yang tadinya menunduk langsung menengadah. Aku kira Papa yang datang. Ternyata Abby! Senyumku pun merekah.
“Abby?” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku.