Aku dan Abby tiba di Karawaci setelah perjalanan dengan taksi dari bandara Soekarno-Hatta. Kami baru saja selesai berbulan madu.
Kami menghabiskan banyak waktu bersama di Bali. Bahkan, kami sampai menyewa sepeda motor untuk menyeberang ke Lombok. Ternyata, Abby orang yang sangat seru untuk teman perjalanan. Ia sangat menyukai alam dan kegiatan jalan-jalan kami di Bali lebih banyak ke alam terbuka ketimbang tempat hiburan. Aku rasa Papa bisa bernapas lega karena selama di Bali aku hampir tidak menyentuh dunia yang dulu sempat membuatku terjerumus.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya?” Abby meminta izin.
“Ngapain minta izin? Langsung masuk saja.” Aku tertawa geli.
“Kan, penyesuaian.” Abby tertawa. Sepertinya ia masih gugup tinggal berdua dengan “orang asing”.
Aku sendiri juga geli. Di flat ini, boleh dibilang aku adalah satu-satunya yang tidak memiliki housemate. Kini, aku akhirnya membawa teman juga, sekaligus pasangan resmi!
Aku membongkar barang-barangku. Tak lupa aku menyalakan telepon genggam yang aku matikan sepanjang perjalanan di pesawat. Seharusnya aku sudah boleh menyalakannya ketika di bandara. Namun, aku lupa.
Aku meletakkan teleponku di atas meja. Namun, hanya dalam hitungan detik teleponku langsung berbunyi. Ternyata ada banyak sekali pesan singkat yang masuk. Bahkan, tertera juga catatan telepon masuk berkali kali. Aku mengamati nomornya. Itu nomor telepon rumah orang tuaku di Pondok Kelapa. Ada apa ini?
“Halo?” Aku segera menelepon ke rumah orang tuaku.
“Mbak Evie?”
“Ini Sam, ya?” Aku mengenali suaranya.
“Mbak Evie … Mama….” Suara Sam terputus.
“Mama kenapa, Sam?” Aku pun panik.
…
Aku duduk tepekur di samping pusara Mama. Tanahnya masih basah dan taburan bunganya masih segar. Semalam, Mama pergi meninggalkanku—kami—untuk selama-lamanya.
“Ayo, Vie.” Abby mengajakku.
Aku pun bangkit. Kami berjalan dalam keheningan menuju rumah orang tuaku. Begitu tiba, mataku langsung tertumbuk pada kamar Mama. Aku teringat ketika pertama kali menyadari kondisi Mama yang sepertinya sakit. Dulu, ketika aku baru saja selesai menjalani masa skorsing di sekolah. Gal yang pertama kali menyadari sakitnya Mama. Dan aku lalu menengok Mama yang waktu itu tengah tertidur pulas di dalam kamar.
Aku berjalan menuju kamarnya, mengintip ke dalam, dan berharap Mama masih tertidur di sana. Namun, yang kutemui hanya ranjang kosong. Mama sudah tidak ada dan tidak akan pernah kembali lagi.
Aku terduduk dan mengusap mataku. Aku benar-benar kehilangan dirinya.