“Stefano Rahmadian Anshori.” Guru wali itu menyebut nama anakku sambil menyerahkan sebuah lembaran.
Aku menerima lembaran itu dan membacanya. Rapor kini sudah tidak lagi hanya berisi nilai akademis. Selain nilai, perkembangan karakter siswa juga dipantau. Aku jadi lebih tahu seperti apa anakku di sekolah.
“Evan anak yang baik. Sesekali tentu dia nakal. Yah, biasalah, namanya juga remaja.” Bu Sari, wali kelas Evan, tersenyum menerangkan.
“Evan tidak terlalu istimewa di akademis. Nilainya sebenarnya tidak jelek. Bagus malah. Namun, tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ranking atas,” jelas Bu Sari lagi.
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak mempermasalahkannya, kok.
“Namun, ia sepertinya memiliki bakat luar biasa di bidang seni.”
“Oh, ya?” Aku terkejut.
Bu Sari mengambil beberapa kertas. Tampak di situ hasil karya Evan. Aku memperhatikannya dengan saksama. Garis yang digambar Evan begitu tegas dan berkarakter. Aku langsung paham dari mana ia mendapatkan kemampuan seperti itu.
“Mungkin ia ingin menjadi arsitek seperti orang tuanya.” Aku tertawa.
“Iya. Anak-anak zaman sekarang memang banyak yang luar biasa,” ujar Bu Sari.
“Hanya saja, untuk nilai akademisnya, saya berharap Evan bisa meningkatkannya. Sedikit, saja.”
Aku kembali mengangguk. Aku bersalaman dan mengucap terima kasih atas bimbingan Bu Sari pada Evan. Aku lalu keluar. Tampak Evan tengah asyik menatap layar smartphone di bangku koridor sekolah.
“Ayo,” ajakku.
Evan menengadahkan kepalanya lalu berdiri.
“Ini.” Aku menyerahkan lembaran laporan studinya. Ia menerima dan membacanya. Aku meliriknya sekilas dan aku menangkap sedikit kegalauan di wajahnya.
“Ma,” panggilnya pelan.
“Ya?”
“Maaf, ya. Evan nggak bisa masuk sepuluh besar,” ujarnya.
“Nggak apa-apa,” jawabku.
“Mama nggak kecewa, kan?” Ia kembali bertanya.
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya. Ia menunduk dengan raut wajah penuh perasaan bersalah.
“Van.” Aku berkata pada remaja belasan tahun yang tinggi tubuhnya sudah melampauiku itu. Anak sekarang memang tubuhnya besar-besar.
“Mama tahu kamu selama ini sudah belajar keras. Nggak apa-apa, Van. Asalkan kamu mau serius berusaha, bagi Mama itu sudah lebih dari cukup.”
Evan tersenyum. “Terima kasih, ya, Ma.”
Aku menepuk punggungnya. “Kamu itu anak Mama. Apa pun yang kamu lakukan, kamu tetap anak Mama. Selama itu baik, Mama tidak akan pernah kecewa dan selalu mendukung kamu.”
Evan kembali tersenyum.
Aku bersyukur dengan hidupku hingga saat ini. Setelah masa mudaku yang penuh gejolak, aku akhirnya bisa menata kehidupan dengan keluarga kecilku yang baru, bersama Abby, juga Evan dan Alisa—buah cintaku dengan Abby.
Setelah menikah, aku memutuskan untuk berhenti minum. Yang sulit adalah berhenti merokok. Namun, ketika mengandung Evan, aku benar-benar memaksakan diri untuk meninggalkan rokok. Kalau narkoba, yah, sejak mencicipi penjara, aku kapok berurusan dengan narkoba.
Aku melahirkan Evan di tengah-tengah masa kuliahku. Kelulusanku pun kembali tertunda. Meski demikian, aku bisa menyelesaikannya dengan baik.
Papa meninggal dua bulan setelah aku wisuda. Selepas kepergian Mama, Papa sebenarnya juga mulai sakit-sakitan. Aku tahu persis. Namun, Papa tidak pernah mau memperlihatkannya di depanku.
Aku adalah anak terakhir di keluarga yang dilantik menjadi sarjana. Sam yang rajin belajar tentu saja sanggup lulus tepat waktu. Berbeda denganku yang justru dirundung masalah terutama ketika aku harus menghabiskan waktu di penjara.
Aku merasa jika meninggalnya Papa adalah tanda bahwa ia telah menyelesaikan “tanggung jawabnya” kepada kami—anak-anaknya. Aku selalu ingat dengan kata-kata Papa yang selalu memaksaku kuliah meski di kampus paling mahal sekalipun. Bahwa itu adalah tugas dan tanggung jawabnya untuk memberikan yang terbaik kepada kami.
Semenjak menjadi orang tua, aku mulai memahami kedua orang tuaku—yang ironisnya sudah meninggal. Orang tua pasti ingin selalu yang terbaik untuk anak-anaknya. Hanya saja, karena orang tua dan anak hidup di zaman yang berbeda, kadang ada persepsi yang berbeda yang tak jarang menimbulkan permasalahan. Itulah yang sebenarnya terjadi antara aku dan orang tuaku.
Meski demikian, orang tua selalu membuat hatiku merasa tenang. Dulu, aku merasa bebanku berkurang banyak ketika akhirnya Papa dan Mama menjengukku di tahanan. Yah, apa pun yang dilakukan anak-anak, orang tua akan selalu memaafkannya.
Evan mempercepat langkahnya ketika melihat Abby dan Alisa. Ia lalu menyerahkan lembar laporan studinya kepada Abby. Abby membacanya dan tersenyum.
“Eh, iya. Nanti kalian mau buka puasa di mana?” tanyaku.