Arkan duduk di pojok kamar sambil memeluk kedua lutut. Telinganya berdenging akibat kelewat banyak mendengar omelan. Matanya perih karena terlalu lama menangis. Sisa isaknya masih terdengar samar-samar. Berulang kali bocah itu menyeka ingus yang terus-menerus mengalir.
Kaki-kaki mungilnya masih terasa sakit. Beberapa bekas sabetan sebatang lidi terukir di sana. Ditambah tanda cubitan di lengan kanan dan kirinya. Kepalanya pun terasa pusing, akibat berkali-kali menerima toyoran.
Sakit, perih, dan pedih masih membekas di sekujur tubuhnya. Namun, yang paling membekas adalah luka di hatinya yang makin menganga. Alih-alih mendapat sentuhan lembut dari sang bunda, justru kekerasan yang ia terima.
“Bunda lakukan ini karena bunda sayang sama kamu!”
Arkan meresapi kata-kata sang bunda, menyimpannya di dalam hati. Ternyata, seperti inilah wujud kasih sayang itu. Bahasa cinta yang disampaikan oleh perempuan yang telah melahirkannya ke dunia.
“Bunda nggak mau besok lusa kamu jadi anak nakal! Ditolak orang-orang! Nggak punya teman! Bunda cuma berusaha yang terbaik buat kamu. Paham?”
Bocah itu masih terus terisak meski matanya sudah perih dan lelah. Perlahan-lahan tubuhnya mulai lunglai. Ia pun mengambil posisi tidur bergelung di pojokan, seperti kucing kecil yang kedinginan.
“Berhenti nangis! Kamu itu anak laki-laki. Jangan cengeng!”
Bocah itu tersentak, segera menggigit bibir. Ia tidak ingin omelan sang bunda bertambah semakin panjang. Ia sudah lelah, fisik dan juga hati.
Sang bunda mendengkus. “Jule! Bantu Arkan siap-siap tidur,” ucap Rere sambil beranjak meninggalkan sang buah hati.
Arkan segera bersyukur di dalam hati. Kalimat itulah yang sedari tadi ia nanti. Penutup yang menandakan sesi omelan hari itu telah berakhir.
Jule, sang pengasuh, sedari tadi berdiri diam di sudut ruang tamu. Wanita muda itu terus menunggu hingga amarah sang majikan berlalu. Hingga saat perintah itu datang, dia segera tergopoh masuk ke kamar. Dengan gerak hati-hati, dia mengendong dan membaringkan Arkan di ranjang.
Jule lalu mengoleskan salep pereda memar di bekas-bekas kekerasan yang ditinggalkan sang majikan. Matanya mengembang penuh air mata. Dia tak menyangka sang majikan begitu murka mendengar berita yang dibawa. Seandainya tahu jadi begini, wanita muda itu akan menutupi yang terjadi.