Stigma

Nita Simamora
Chapter #2

EGO CELLO

“Guru TK?” tanya Cello setengah memekik, terkejut mendengar penuturan sang sahabat.  

Beberapa mata mulai melirik demi mendengar suaranya, membuat wanita muda itu tak enak hati. Cello mengutuk dirinya sendiri. Suaranya pasti terlalu kencang. Bahkan dengan suasana restoran yang ramai, banyak telinga yang bisa mendengar.

“What’s wrong?” Axel menanggapi dengan tenang. 

“Nothing, sih. Tapi, nggak ada yang lain, ya? HRD di perusahaan?” tanya Cello malu-malu.

Alih-alih merespon pernyataan Cello, wanita itu malah menyeruput kopinya dengan santai. “Saat ini, adanya itu.”

Cello mengangguk maklum. Sejak menikah dan pindah ke ibukota, ia belum memiliki pekerjaan baru. Tinggal di rumah sepanjang hari membuatnya bosan. Beruntung, sahabatnya sejak kuliah juga tinggal di ibukota. Maka wanita dua puluh lima tahun itu pun meminta bantuan Axel. 

“Sekolah tempatku mengajar butuh guru pengganti segera karena aku harus pindah keluar kota. Aku pikir … kamu cocok dengan profesi ini.” 

“Cocok?”

“Lulusan terbaik dari fakultas psikologi pasti cocok dengan profesi ini.”

Cello mendengkus. Oleh karena itu, ia tidak berminat dengan profesi yang ditawarkan. Bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan otak briliannya hanya untuk mengajar balita-balita? Tidak adakah hal lain yang lebih besar, lebih menantang, lebih berfaedah, lebih prestisius?

“Kamu nggak lagi ngeledek, kan?” Cello memicingkan mata.

“Of course, not! Apa kamu nggak pernah tahu tentang profesi guru di Finlandia?”

Cello mencoba mengingat-ingat apa yang pernah dibaca tentang pendidikan di negara tersebut. 

“Yang boleh menjadi guru di sana hanyalah lulusan terbaik universitas,” tukas Axel. Wanita berkacamata itu tidak menunggu Cello menjawab pertanyaannya. “Karena pemerintah Finlandia paham, pendidikan adalah salah satu aset penting negara.”

Cello menatap lekat sahabatnya. Ia pernah mendengar hal yang disampaikan Axel. 

“Ingat golden ages?” Axel mengangkat alis kirinya. Wanita itu seakan-akan menguji kecerdasan wanita di hadapan. Cello mengangguk. Ia belum melupakan salah satu materi di mata kuliah Psikologi Perkembangan.

“Usia 0 hingga 7 tahun. Di situlah masa penting pembentukan karakter anak. Bayangkan jika kita menjadi salah satu arsiteknya.”

Cello mengernyitkan dahi, tanda belum mengerti.

“Bayangkan kamu menanam, sedikit saja, saham pembentukan karakter agar anak-anak itu menjadi sosok yang cinta kebersihan, disiplin, saling menyayangi, mampu menghormati, ulet, rajin, dan sebagainya. Lalu di masa depan mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik.”

Lihat selengkapnya