“Gimana hari ini?” tanya Keanu sambil berbaring di pangkuan istrinya.
Kalimat itu sudah seperti pertanyaan wajib saat mereka menikmati waktu senggang di rumah. Setelah makan malam, keduanya selalu menyempatkan diri untuk menikmati kebersamaan. Sekedar menonton tayangan televisi atau membaca buku ditemani alunan musik.
“Lancar,” jawab Cello singkat, tanpa mengalihkan perhatian pada film aksi yang sedang mereka tonton. Seutas senyum tersungging di bibir tipisnya.
Keanu mengernyitkan dahi, seolah-olah tidak siap menerima jawaban sang istri. Beberapa malam ini, Cello selalu mengeluh tentang beratnya hari-hari di sekolah. Ketika pria itu menanyakan kabarnya di malam hari, kata capek, lelah, atau kesal, selalu mejadi jawaban. Kalimat-kalimat pendek yang kemudian disusul dengan rentetean keluhan tentang sulitnya mengajar anak-anak TK.
“Apa mereka sudah menerimamu?” selidik Keanu.
“Murid-murid? Sudah, dong,” jawab Cello penuh kebanggaan.
Cello mengenang empat hari yang telah ia habiskan di sekolah. Hari pertama memang begitu berat. Wanita itu harus beradaptasi dengan metode mengajar anak usia dini. Jelas berbeda dengan pekerjaannya selama ini, di mana ia selalu berdiri di depan manusia-manusia dewasa. Berbekal bahan presentasi dan retorika, wanita itu sudah bisa menyampaikan materi pengembangan diri pada audiensinya; para karyawan lama dan karyawan baru perusahaan.
Akan tetapi, hal pertama yang harus Cello lakukan di Kelas Vega adalah belajar bahasa balita. Ia dituntut untuk menyampaikan sesuatu dengan kalimat sederhana agar bisa dipahami. Ia pun harus mampu menerjemahkan bahasa anak-anak itu. Meskipun butuh waktu, tapi ia akhirnya mulai terbiasa.
“Miss, Tawo nggak mau wana. Tawo ngantuk,” keluh Kentaro dengan cadel, saat lelah mewarnai.
“Miss, pecet! Bantuin!” seru Danishi, meminta Cello untuk cepat-cepat menolongnya. Begitu terburunya gadis itu berkata, hingga dia terbalik mengucapkan suku kata.
“Miss, ini nggak,” keluh Anais sambil menunjuk sayuran di piring. Cello butuh beberapa detik untuk memahami maksud dari kalimat tidak lengkap tersebut. Ia pun akhirnya paham bahwa gadis kecil itu menolak makan sayuran.
Selain adaptasi bahasa, Cello juga harus terbiasa membagi perhatian pada setiap anak, terutama saat sedang melakukan aktivitas bersama. Para murid akan berebut memanggil namanya. Namun, hal yang paling menyakitkan adalah saat murid-murid keliru memanggilnya dengan sebutan Miss Axel.
Butuh empat hari hingga seluruh murid terbiasa dengan nama Cello. Sepanjang hari tersebut, tidak ada satu murid pun yang keliru memanggilnya. Mereka begitu fasih menyebut namanya, seolah-olah Cello adalah guru yang telah mendampingi mereka sejak tahun ajaran baru dimulai. Kedekatan yang mulai terjalin, gelayutan manja, hingga penyebutan nama yang tidak keliru, membuat Cello sangat bahagia di akhir hari.
“Termasuk murid yang mendorongmu di hari pertama?” Keanu menyeringai.
“Arkan? Itu … special case. Hanya dia yang belum bisa menerimaku sepenuhnya.”
“Dia masih manggil kamu Miss Axel?”
Cello menggeleng. “Justru dia satu-satunya murid yang nggak pernah manggil aku Miss Axel. Sejak hari pertama. Dia sangat sadar bahwa aku bukan Axel.”
“Lantas, selama ini dia manggil kamu apa?”
“Hari pertama, you. Hari kedua, kamu. Hari ketiga dan keempat, miss. Tanpa Cello.”
“Mungkin dia perlu waktu lebih aja.” Keanu membesarkan hati sang istri.