Stigma

Nita Simamora
Chapter #3

MENAKLUKAN VEGA

“Miss suka anak-anak?”

Satu pertanyaan pembuka dari Dara membuat mulut Cello tanpa sadar menganga. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan sang kepala sekolah? Dengan jawaban jujur atau dusta? Sungguh, ia menerima tawaran ini hanya karena tantangan yang diberikan oleh sang sahabat.

Setelah berpikir beberapa detik, Cello pun memutuskan untuk mengangguk, disertai senyuman yang dibuat semanis mungkin. Ia berharap wanita di hadapan tidak menyadari kebohongan itu. 

“Hari ini, Miss Cello bisa mulai masuk kelas. Di akhir minggu nanti, kita akan ngobrol lagi. Sekalian, saya ingin dengar keputusan Miss Cello. Bersedia lanjut atau tidak.”

Cello kembali mengangguk.

“Sepertinya anak-anak sudah selesai dengan do’a pagi.” Dara melirik jam tangannya. “Mari saya antar ke ruang kelas.” Tanpa banyak basa-basi, sang kepala sekolah langsung meminta Cello menuju lapangan kerja. Sebuah kelas yang berada di lantai dua.

Mereka berjalan beriringan, menapaki anak-anak tangga berlapis kayu. Di dinding sepanjang tangga terpajang foto-foto murid dalam barisan rapi. Bingkai-bingkai itu disusun berdasarkan tahun kelulusan. Makin ke atas, makin terbaru foto yang dipajang.

“Oh ya, di kelas ada enam orang murid. Salah satunya murid baru. Baru tiga minggu. Dia masih butuh adaptasi lebih dibanding yang lain.” Dara menjelaskan sepanjang perjalanan menuju kelas. Cello mengangguk paham. Saat itu, sudah berlalu tiga bulan sejak dimulainya tahun ajaran baru. 

“Ini kelasnya.” Sang kepala sekolah berhenti di depan ruangan berdinding kaca. 

Cello melayangkan pandang, mengamati suasana di dalam ruangan bercat biru muda. Beberapa hiasan tertempel di dindingnya. Alfabet, angka, serta pengenalan bentuk dan warna. Di sisi belakang terdapat satu loker warna-warni berisi buku dan alat tulis murid-murid. Tas beragam bentuk dan warna berbaris rapi di sebelahnya.

“Vega?” Cello membaca papan nama yang ada di depan pintu. 

“Kami menamai kelas-kelas di sekolah ini dengan nama-nama bintang. Di TK kecil ada Vega dan Sirius, di TK besar Canoppus dan Rigel.” Dara menjawab keheranan Cello. Wanita paruh baya itu lalu membuka pintu kelas.

Di ruangan seluas 6 x 8 meter itu, terlihat beberapa anak yang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang bermain lego di lantai kayu, ada yang bermain balok, sementara sisanya sedang ngobrol di salah satu sudut ruangan. Namun, yang paling menarik perhatian Cello adalah murid lelaki yang sedang memanjat terali jendela.

“Selamat pagi, Anak-anak. Ayo, semuanya duduk di kursi masing-masing! Miss Dara punya tamu, nih.”

Dengan patuh, murid-murid beranjak menuju kursi yang telah ditata di meja panjang berbentuk huruf U. Dara lalu mempersilahkan Cello untuk duduk di kursi kecil yang ada di tengah. Guru baru itu sedikit canggung ketika harus duduk di kursi yang didesain khusus untuk anak-anak. Ini adalah pengalaman pertamanya. 

Kecanggungannya semakin menjadi ketika melihat laku sang atasan. Dara tiba-tiba berdiri dengan tumpuan lutut tepat di sampingnya. Hal ini membuat guru baru itu terkejut dan sontak berdiri untuk menyerahkan kursi yang ia duduki. Namun, sang kepala sekolah dengan sigap menepuk kursi berwarna merah itu, isyarat agar Cello kembali duduk.

“Kalo bicara sama anak-anak, usahakan posisi kita sejajar. Miss Cello sudah tahu, kan?” Dara berbisik saat sang guru baru sudah duduk kembali.

Cello mengangguk. Ia kembali teringat pada pelajaran di kampus. Salah satu yang harus dilakukan dalam berkomunikasi adalah menyejajarkan diri dengan lawan bicara, baik cara bicara maupun posisi. 

Lihat selengkapnya