“Kean, mungkin nggak, anak umur lima tahun menderita penyakit pikun?” tanya Cello di satu senja.
Di akhir pekan itu, ia dan Keanu sengaja menghabiskan waktu di salah satu restoran yang terletak di atas laut. Tempat favorit mereka itu merupakan surga bagi para penggemar makanan laut.
“Pikun?”
“Iya. Saat waktu pulang, hampir setiap hari Arkan pakai tas punya teman-temannya.” Pandangan Cello menerawang jauh, mengingat peristiwa yang terjadi seminggu ini.
“Mungkin salah ambil?” respon Keanu sambil mencelupkan cumi goreng tepung ke saus tomat.
Cello segera menggeleng. “Nggak. Kalau aku tegur, dia selalu kekeh bilang itu tas punyanya.”
“Gimana sama tasnya sendiri?”
“Dia akan berkeras kalau itu millik temannya. Ujung-ujungnya, mereka bertengkar. Apa itu wajar untuk seorang anak?”
Selama beberapa menit, keduanya diam. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hanya alunan musik yang terdengar dari sound system di sudut ruangan.
“Kayaknya, situasi ini nggak asing buat aku, deh,” ucap Keanu setelah merenung beberapa lama.
Cello memicing saat mendengar kalimat itu. Ia terkejut sekaligus tidak paham. Wanita itu segera menghentikan suapan, memasang mode siap mendengarkan.
“As you know, aku ini anak bungsu.” Keanu mulai bercerita sambil diselingi mengunyah makanan. “Hampir semua barang yang aku punya, baju, tas, atau sepatu, adalah hasil lungsuran dari abang-abangku. Karena gaji papa nggak cukup buat beli yang baru.”
Cello menatap wajah sang suami dengan serius. Ia begitu tertarik pada cerita sang suami. Setelah empat bulan menikah, ternyata ia masih belum tahu banyak tentang masa lalu pria jangkung itu.
“Waktu itu, tas gambar Power Rangers jadi trend di sekolah. Hampir semua temanku pakai tas itu. Tapi, aku nggak punya. Aku iri sama mereka. Samapi satu hari, aku berkhayal bahwa salah satu tas itu adalah punyaku.”
“Lalu?” Cello makin tertarik.
“Aku benar-benar percaya pada khayalan itu. Sampai-sampai aku pakai tas salah satu temanku dan berkeras bahwa itu punyaku. Kamu tahu? Kami sampai baku pukul gara-gara itu.”
Cello terbahak demi mendengar cerita sang suami. Tawanya yang membahana mengundang tatapan heran dari sekitar mereka. Wanita itu sungguh terkejut bahwa seorang anak mampu menjadikan khayalan seakan-akan nyata.
“Hei! Jangan bilang kalo waktu kecil kamu nggak pernah berkhayal!” Keanu melotot, berlagak marah.
“Aku?” Cello kembali tertawa. Setelah beberapa menit, tawanya berangsur-angsur mereda. Wanita itu lalu memejamkan mata, mencoba menggali kenangan yang mungkin terlupa.
“Aku pernah berkhayal, kok. Tapi, level khayalanku jauh lebih tinggi,” ucap Cello sembari mengangkat dagu, berlagak sombong.
“Emang apa yang kamu khayalin?” tanya Keanu sambil menopang dagu.
Dari samping tempat duduknya, Cello memandang sendu pada air laut yang mulai pasang.
“Aku pernah berkhayal bahwa aku adalah putri duyung dan ayahku adalah saudara Poseidon. Ayah nggak pernah kembali dari melaut karena harus pulang ke kerajaannya.” Cello mengenang sang ayah yang meninggal karena kecelakaan kapal saat melaut. Saat itu, ia masih berada di kelas dua sekolah dasar. Wanita itu tidak ingin menerima kenyataan dan mulai berkhayal. Apalagi jenazah sang ayah tidak pernah dipulangkan ke rumah.
Keanu menangkap perubahan di air muka Cello. Pria itu pun mencoba mencairkan suasana. “Terus, kenapa kaki kamu nggak berubah jadi ekor ikan saat kena air laut. Bukannya itu aneh?”
Ucapan Keanu kembali mengundang tawa Cello. “Karena aku adalah anak campuran duyung dan manusia,” jawab Cello sambil cengar-cengir.