“Mbak Jule, Bu Rere sibuk banget, ya?” tanya Cello pada pengasuh Arkan.
Siang itu, Cello meminta Jule untuk meluangkan waktu seusai jam sekolah. Banyak hal yang ingin ia gali terkait perilaku Arkan. Selama tiga minggu ini, wanita itu dibuat sakit kepala karena tingkah sang murid. Memukul, menendang, hingga mendorong teman. Hampir tiap hari, Cello menerima keluhan dari wali murid terkait sikap Arkan pada anak mereka.
Sebenarnya, Cello sudah meminta waktu untuk berbincang dengan Rere. Namun, sang bunda belum bisa datang ke sekolah karena berbagai kesibukan. Pembicaraan via telepon juga ditolak dengan alasan sedang sibuk beraktivitas.
Cello dan Jule duduk di bangku halaman sekolah, sambil mengawasi Arkan yang sedang bermain perosotan di sisi yang lain. Cello sengaja menjaga jarak, agar bocah lelaki itu tidak mendengar percakapan yang mereka lakukan.
“Iya, Miss. Bundanya Arkan sibuk banget. Kadang-kadang, hari Sabtu dan Minggu juga masih keluar.”
“Nggak libur? Kerja apa, sih?”
“Bisnis, Miss. Tapi, jadi ketua di LSM juga. Kalo hari Sabtu Minggu, suka keluar kota karena urusan LSM,” terang Jule.
“Pantes aja. Saya berapa kali minta waktu untuk ngobrol, tapi belum diiyain.” Cello manggut-manggut. “Berarti, Mbak Jule lebih sering bertiga di rumah, ya?”
“Berdua, Miss,” koreksi Jule.
“Ayahnya Arkan?” selidik Cello.
“Udah lama cerai, Miss,” jawab Jule. “Dari Arkan masih bayi.”
Hati Cello sakit saat mendengar informasi itu. Ia tahu bagaimana sedihnya dibesarkan tanpa ayah. Ada kasih yang kurang. Ada juga rasa iri pada teman.
“Tapi, masih sering nengokin Arkan, kan?” tanya Cello ragu-ragu.
Jule menyeringai. “Setahun sekali. Pas hari raya doang.”
Cello kembali manggut-manggut, berusaha memahami situasi muridnya. Wanita itu menduga, hilangnya sosok ayah serta kurangnya kehadiran sang bunda, menjadi dua variabel penting yang mempengaruhi karakter Arkan.
“Mbak! Mau pipis.” Arkan menghampiri wanita muda di samping Cello. Sang pengasuh dengan sigap menggamit lengan Arkan, seraya meminta ijin Cello untuk mengantarkan bocah itu ke kamar mandi.
Cello mengamati langkah keduanya. Lamat-lamat, terdengar omelan sang pengasuh tentang seragam Arkan yang sangat kotor. Berbagai petuah tentang sulitnya mencuci baju serta waktu yang terbuang, menghiasi kalimat-kalimatnya. Cello melihat kedua sosok tersebut dari sisi yang berbeda. Bukan sekedar anak majikan dan pengasuhnya. Namun, lebih pada dua orang kakak-beradik.
Beberapa menit kemudian, keduanya kembali. Arkan pun segera berlari untuk melanjutkan kegiatan bermain di halaman TK Bintang. Kali ini, bocah itu memilih ayunan. Mungkin tenaganya sudah terkuras setelah lima belas menit bermain perosotan.
Cello tiba-tiba teringat tujuan awal berbincang dengan sang pengasuh.
“Mbak Jule, Arkan takut kalo pintu kamar mandi ditutup, ya?”
“Emang kenapa, Miss?”
“Tadi pagi Arkan ke kamar mandi. Tapi, dia nggak nutup pintu. Waktu kepergok dan temannya nutup pintu, Arkan tiba-tiba teriak, marah-marah, dan nangis,” cerita Cello.
Wanita itu mengingat kejadian antar kedua muridnya. Cello sangat terkejut pada akhir dari peristiwa itu. Arkan mendorong Danishi hingga jatuh di lantai.
“Temannya nggak diapa-apain kan, Miss?” Seolah-olah sangat mengenal tabiat Arkan, Jule malah menanyakan respon yang diterima teman sekelas Arkan.
“Temannya didorong,” jawab Cello jujur.
“Haduh! Kalo bundanya tahu, habislah.” Jule menghela napas panjang.
“Habis?”
“Bundanya bisa marah besar ke Arkan. Saya takut Arkan dipukulin atau dicubitin.” Jule terlihat cemas. “Miss, tolong bilangin teman-temannya Arkan, ya. Kalo Arkan ke kamar mandi, pintunya biarin dibuka aja.”
“Kenapa?” Cello merasa heran.