Setiap pukul sembilan pagi, seluruh murid TK Bintang akan duduk bersama di aula. Mereka akan membuat barisan sesuai kelas masing-masing. Sementara di depan, salah satu guru akan memimpin doa bersama.
Kegiatan doa akan dilanjut dengan kegiatan bernyanyi. Di hari-hari tertentu, olahraga dan mendongeng, menjadi selipan. Selain untuk memupuk rasa kebersamaan, anak-anak juga akan belajar untuk beradaptasi di lingkungan yang lebih besar.
Selama mengikuti kegiatan, murid-murid diharuskan untuk duduk rapi. Namun, Arkan tidak melakukannya. Sejak hari pertama bersekolah, bocah itu tidak pernah merasa betah dengan ritual pagi. Dia selalu berlarian saat teman-temannya duduk rapi.
“Miss, kok Arkan nggak duduk?” Gilang memprotes.
Cello tak tahu harus menjawab apa. Sudah seminggu ia membujuk anak itu, tapi selalu berakhir dengan penolakan. Arkan tidak segan-segan mendorongnya, saat sang guru mencoba membujuk.
Sebelumnya, protes juga pernah dilayangkan oleh wali kelas lain. Berbagai saran serta solusi dari para senior telah Cello terapkan. Namun, masih belum berhasil. Akhirnya, seluruh guru mulai memaklumi. Sembari berharap agar Arkan bisa berubah satu hari nanti.
“Arkan masih mau lihat-lihat aula,” jawab Cello.
“Kemarin kan udah,” komentar Gilang. Dia sudah berkali-kali mendengar jawaban yang sama.
“Mungkin Arkan belum puas.”
“Aku juga mau!” tukas Gilang. Bocah itu berdiri dengan tiba-tiba.
Cello segera meraih tangan Gilang. Wanita itu lalu tersenyum saat sang murid memasang wajah cemberut. Ia tahu, bocah berambut ikal itu merasa diperlakukan tidak adil. Namun, sebagai guru ia sendiri bingung harus melakukan apa pada Arkan.
Cello memberi isyarat pada Gilang untuk kembali duduk. “Kita kasih kesempatan Arkan untuk keliling hari ini. Arkan kan murid baru,” bisik Cello saat sang murid sudah duduk di barisan.
Gilang menghela napas. Bocah itu memandang Cello dengan penuh rasa kecewa. Dia juga ingin berlarian. Aktivitas yang tidak pernah dilakukannya saat berada di rumah. Perabotan sang bunda yang menyesaki setiap jengkal, menjadi alasan utama dia tidak boleh berlarian di rumah.
Cello menyadari kekecewaan Gilang. “Besok, Miss suruh Arkan untuk duduk di barisan. Sama seperti semua murid-murid.”
Air muka Gilang berubah. Senyum tersungging di bibirnya. Bocah lelaki itu pun segera menyodorkan jari kelingking kanan, isyarat agar sang guru memegang janji.
Walaupun berat, Cello menyambut uluran kelingking Gilang. Ia sungguh belum memiliki ide, bagaimana agar Arkan mau duduk di barisan. Namun, janji tetaplah janji.
***