“Miss, ini ketiga kalinya Arkan memukul anak saya.” Kalimat Bella penuh penekanan.
Cello bergeming, diam mendengarkan. Semua yang dikatakan lawan bicaranya adalah kebenaran. Tidak ada yang bisa ia sanggah. Namun, memang ada penjelasan di baliknya.
“Saya ngerti perasaan Bunda. Saya mohon maaf karena kejadian ini.”
“Tapi, semua nggak bisa diselesaikan hanya dengan maaf, Miss.”
“Iya, Bunda. Saya paham. Kami juga sudah menindaklanjuti kasus ini.”
“Kok bisa ada anak sekasar itu? Diajarin apa sih, di rumah?” Suara sang lawan bicara mulai meninggi.
“Bunda, seperti yang tadi saya jelaskan, apa yang dilakukan Arkan dipicu oleh ejekan Gilang. Saya tidak membenarkan apa yang dilakukan keduanya. Selain menindaklanjuti Arkan, kami juga berharap Gilang belajar menahan diri untuk tidak mengejek teman-teman.”
Cello mengingat kejadian di kelas tadi. Gilang berulang kali mengejek gambar yang dibuat oleh Arkan. Menurutnya, gambar itu lebih terlihat seperti pisang alih-alih pesawat terbang. Dia bahkan sengaja tertawa hingga terpingkal-pingkal.
Di kali pertama, Cello mampu meredam amarah Arkan dan meminta Gilang untuk menghargai gambar milik sang teman. Namun, bocah itu tidak mengindahkan nasihat yang diberikan. Saat sang guru lengah, dia kembali mengejek Arkan. Hal itu membuat Arkan naik pitam dan memukulinya dengan buku gambar.
Di sisi lain, Cello menduga Gilang melakukannya karena ingin mencari perhatian. Selama seharian, Arkan sibuk menggambar bersama Elroi. Bocah lelaki itu mengabaikan ajakan Gilang untuk bermain lari-larian. Kecemburuan itulah yang menjadi pemicu pertengkaran di kelas.
“Miss! Gilang hanya mengejek. Tapi dibalas dengan pukulan. Itu nggak fair! Seharusnya Miss dan pihak sekolah bisa bertindak lebih tegas!” Bella tidak mampu mengendalikan amarah.
“Maksud Bunda, bertindak tegas yang seperti apa? Apa saya kurang tegas?” emosi Cello mulai tersulut.
Atmosfer di antara keduanya menjadi tegang. Jeda panjang yang tercipta digunakan oleh masing-masing pihak untuk saling meredam kemarahan.
“Begini, Miss. Saya cerita yang dilakukan di sekolah keponakan saya, ya.” Sedikit getar masih terdengar di suara Bella. Dia menarik napas beberapa kali, berusaha keras mengendalikan emosi. Cerita dari sang anak membuatnya begitu murka.
“Ketika ada murid yang mencubit temannya, maka korbannya tadi disuruh mencubit balik. Biar pelaku tadi tahu rasa sakit yang ditimbulkan. Ini juga berlaku ketika ada yang memukul, menendang, atau menggigit,” lanjut Bella.
“Saya tidak melakukan metode seperti itu, Bun!” tegas Cello. Kali ini ia tidak mampu mengendalikan diri. Menurutnya, metode saling balas seperti itu hanya akan menghasilkan masalah tanpa akhir.
Suara mendengkus terdengar dari seberang. “Terus, Miss melakukan apa?”
“Bunda, selama beberapa pekan ini kami sedang memberikan terapi pada Arkan. Kami sedang berusaha untuk mengubah perilakunya. Terutama dalam mengendalikan sifat impulsifnya. Tapi, memang hasilnya tidak instan. Semua butuh proses, Bun.”
“Berapa lama, Miss?”
“Semoga bisa secepatnya, Bun.”
“Lalu dalam proses itu, apakah anak saya harus menjadi korban?”
Cello lagi-lagi napas panjang. Sejujurnya, ia lelah dengan situasi seperti ini. Bella bukanlah wali murid pertama yang mengajukan keluhan. Hampir semua wali murid telah melaporkan komplain tentang Arkan. Namun, Cello tidak ingin menyerah pada Arkan. Ia yakin satu hari nanti, perilaku sang murid akan berubah. Lagipula wanita itu tidak menyimpan kata menyerah dalam kamusnya.
Selama sebulan sejak program dijalankan, perilaku Arkan mengalami sedikit perubahan. Memang belum terlihat signifikan. Hal penting yang menjadi catatan Cello adalah respon impulsif Arkan saat tersakiti. Layaknya insting alami dalam melindungi diri.
“Kami tidak ingin siapa pun jadi korban, Bun.” Cello berusaha menenangkan wali murid di seberang.