Cello terus membaca berbagai jurnal di laptop. Wanita itu juga bolak-balik menyesuaikan berbagai teori dengan program terapi yang ia jalankan. Beberapa hal penting yang harus dilakukan pihak-pihak pendukung, juga tidak luput dari perhatiannya.
Di sampingnya, Keanu asyik menonton film yang sedang tayang. Sesekali pria itu melirik keseriusan sang istri. Wanita muda itu seolah-olah berada di dunianya sendiri.
Setiap berapa menit sekali, Cello menatap layar ponsel. Sudah berkali-kali ia mengirim pesan pada seseorang, tapi belum juga mendapat balasan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan bernada ancaman. Wanita itu berharap kali ini ia akan mendapat tanggapan.
Dugaannya benar. Di tengah keasyikan menelusuri jurnal-jurnal penelitian, ponselnya berdering kencang. Cello melirik sekilas dan segera tersenyum karena penelepon adalah orang yang telah lama ditunggu. Ia pun bergegas menuju ruang makan untuk menjawabnya.
“Maksud Miss, apa?” Tanpa mengucap salam, sang penelepon langsung memburu Cello dengan pertanyaan.
“Maksud apa, ya, Bun?” Cello berlagak tidak mengerti.
“Pesan terakhir dari Miss. Kata Miss, anak saya akan ditolak oleh lingkungan.”
Cello tersenyum mengingat rangkaian kalimat yang beberapa menit lalu ia ketik. ‘Kalo Bunda terus-terusan cuek, jangan menyesal jika lingkungan menolak Arkan.’ Demikian bunyi pesan itu.
Cello tidak main-main saat mengirimkan pesan itu. Sudah beberapa pekan sejak kunjungan psikolog sekolah. Selama itu pula ia terus mencoba menghubungi Rere untuk memintanya bekerja sama dalam program terapi. Namun, tidak pernah mendapat sambutan. Selama sebulan ini Cello hanya bisa meminta bantuan Jule untuk melakukan terapi di rumah.
Hingga pada satu hari, sang guru menyadari ada yang berbeda dengan perilaku Arkan. Bocah itu terlihat lebih tenang dalam beberapa hari. Awalnya Cello menyangka perilaku Arkan telah berubah signifikan. Namun, beberapa hari kemudian sang murid kembali menunjukan sikap impulsif.
Cello mencari tahu penyebabnya. Ia mendapat informasi bahwa selama Arkan bersikap lebih tenang, saat itu Rere sedang tidak ada di rumah. Setelah menggali informasi, ditemukan jika hampir setiap hari sang bunda memarahi bahkan berlaku kasar pada Arkan. Informasi itu pula yang membuat Falisha semakin mendesak untuk bisa bertemu dengan Rere.
“Bunda, pihak sekolah sangat mengharapkan kerja sama Bunda.”
“Kerja sama untuk apa?”
“Kerja sama untuk mendukung program terapi Arkan.”
“Saya sudah bilang, perilaku Arkan seperti itu karena pengaruh obat.”
“Tapi, bukan berarti perilaku itu tidak bisa diubah, Bun.” Cello berusaha menjelaskan dengan sabar.
Suara mendengkus terdengar sebagai respon dari kalimat yang disampaikan Cello.
“Kalo ini terus berlanjut, saya khawatir Arkan akan dijauhi bahkan dikucilkan oleh teman-temannya di masa mendatang.”
“Terus, saya harus gimana?”
Cello tersenyum, seolah-olah mendapatkan angin segar. Pertanyaan Rere memang terdengar acuh tak acuh. Namun, respon itu menandakan bahwa sang bunda juga memikirkan masa depan anaknya.
“Kami membuat beberapa program terapi yang harus dilakukan di sekolah dan di rumah. Bunda sudah baca?” Cello mengingat-ingat program yang telah ia berikan pada Jule.