Pagi itu, Kelas Vega riuh ramai dengan celotehan bocah-bocah. Seperti biasa, setiap hari Senin murid-murid akan bertukar rindu dan cerita. Setiap murid akan berebut mengisahkan pengalaman akhir pekan. Deretan tempat wisata, mall, restoran, hingga rumah kerabat menjadi judul dalam cerita mereka.
“Dengerin ceritaku dulu.”
“Aku dulu!”
Murid-murid saling berebut ingin didengarkan. Hanya dua murid yang terlihat tenang di pojokan. Arkan dan Elroi. Keduanya sedang sibuk membuat gambar ikan hiu, tidak terpengaruh pada kebisingan sekitar.
Melihat kelas yang ricuh, Cello pun memutuskan agar setiap murid maju ke depan kelas. Masing-masing murid diberikan waktu untuk menceritakan pengalaman akhir pekan. Meskipun hal tersebut akan mengambil jatah waktu belajar mereka.
‘Tak apalah, yang penting mereka bahagia,’ gumam Cello.
“Oke, sekarang giliran Danishi.” Cello memanggil gadis kecil dengan rambut kucir satu. Wajah blasterannya terlihat lucu dengan poni yang menutupi dahi. Sang gadis mungil membawa selembar foto berukuran 5R. Foto itulah yang sedari tadi dia pamerkan kepada teman-teman dan menjadi pemicu kericuhan di kelas.
“Kemarin, aku ke isnata anak-anak,” ucap Danishi dengan pelafalan kata ‘istana’ yang tertukar.
“Ini foto aku sama badut.”
Sang gadis mungil memperlihatkan selembar foto dirinya di depan istana. Dua badut kelinci berdiri di kiri dan kanan Danishi. Anais melihat foto tersebut sambil bedecak kagum. Sementara Kentaro dan Gilang memandang dengan acuh tak acuh.
“Itu kan jauh,” komentar Arkan tiba-tiba. Bocah itu melirik sekilas foto Danishi, lalu kembali menekuni gambarnya.
“Nggak! Dekat!” teriak Danishi, tegas.
Gadis itu sangat kesal karena mendapat komentar yang tidak sesuai harapan. Dia berharap seisi kelas, tanpa terkecuali, mengagumi keberaniannya bersanding dengan dua badut. Satu keberanian yang mendulang pujian dari kedua orang tuanya, juga kakek dan nenek.
“Jauh! Naik pesawat!” Arkan mempertahankan pendapat.
“Dekat! Naik mobil aja!”
“Jauh!”
Kedua murid itu terus saling berteriak demi mempertahankan pendapat. Melihat hal tersebut, Cello pun segera menengahi perdebatan. Mata Danishi mulai berkaca-kaca, tidak kuasa menghadapi keteguhan Arkan.
“Arkan, Istana Anak itu dekat. Cukup naik mobil.” Cello menjelaskan. Beberapa bulan lalu, wanita itu juga ke sana untuk pertama kalinya.
“Jauh, Miss. Harus naik pesawat.” Arkan tetap teguh pada pendapatnya.
Cello memicingkan mata, menyadari ada yang janggal. “Arkan pernah ke sini?”
“Pernah. Itu kan, di Disney,” ucap Arkan penuh kepercayaan diri.
Cello menghela napas panjang. Ternyata kedua muridnya membicarakan dua objek yang berbeda. Pantas saja mereka tidak menemukan titik temu.
“Arkan pernah ke Disney?”
“Pernah.”
“Di mana?” kejar Cello.
“Dekat rumah Uncle Rick.”
“Oh. Emang rumah Uncle Rick di mana?” tanya Cello. Wanita itu ingin memastikan bahwa sang murid tidak sedang berkhayal.
“Di Amerika,” ucap Arkan.
Cello pun mengangguk, lalu berpaling pada Danishi. “Danishi, Arkan perginya ke Istana Anak yang di Amerika. Amerika itu jauh. Harus naik pesawat kalo mau ke sana.”
Cello lalu berpaling pada Arkan. “Di kota ini juga ada Istana Anak. Danishi perginya ke istana yang ada di Taman Mini. Jaraknya dekat. Nggak perlu naik pesawat.”
Arkan terdiam mendangar penjelasan sang guru.