Stigma

Nita Simamora
Chapter #11

MAWAR KUNING

Di TK Bintang, ada dua pentas seni yang dihelat dalam satu tahun ajaran. Masing-masing pentas dilaksanakan di tiap akhir semester. Pentas seni pertama dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Hari Ibu. Sedangkan pentas seni kedua digelar bersamaan dengan wisuda dan perpisahan murid-murid TK besar.

Sejak awal bulan Desember, murid-murid berlatih menyanyi dan menari setiap hari. Tidak ada keluhan bosan saat melakukan aktivitas tersebut. Yang terlihat justru semangat yang bertambah-tambah. Dalam sehari, mereka bahkan meminta pengulangan latihan. Hal yang terkadang membuat para guru kewalahan karena kelelahan.

Dua minggu sebelum pelaksanaan pentas, undangan pada wali murid mulai dikirimkan. Di dalamnya, juga dilampirkan susunan acara hingga jenis pertunjukan yang akan dilakukan oleh masing-masing kelas. Undangan itu sengaja dikirim jauh-jauh hari, agar orang tua murid bisa mengosongkan jadwal di hari pentas. 

Seminggu menjelang pentas, persiapan pun beralih ke bagian baju pentas. Kostum warna-warni serta aksesoris menarik, dipilih dengan cermat. Kesesuaian dengan materi pertunjukan menjadi pertimbangan. 

Selain itu, aula pun mulai didekorasi sesuai dengan tema yang diusung. Berbagai ornamen menggantung di langit-langit. Kursi-kursi ditata rapi dalam dua sisi. Bunga, tanaman, dan rumput plastik, diletakkan di sisi-sisi panggung. Delapan buah mikrofon serta keyboard pengiring musik, juga tak luput dari persiapan. 

Di hari terakhir menjelang pementasan, murid-murid melakukan gladi bersih. Tidak terkecuali Kelas Vega. Mereka berlatih dengan penuh semangat. Murid-murid tidak sabar menanti datangnya hari esok untuk mempersembahkan Tari Piring dan sebuah lagu bertema alam.

“Miss, besok nari situ?” tanya Anais di tengah-tengah waktu istirahat.

“Iya. Besok, Anais dan teman-teman nari dan nyanyi di sana, ya.” Cello menunjuk ke arah panggung.

Gadis itu tersenyum cerah, membayangkan dirinya berdiri di atas panggung. Lalu, dia akan mendapat tepuk tangan dari para penonton. Bagi Anais dan murid-murid Kelas Vega, pentas kali ini adalah pertunjukan pertama mereka.

“Miss, besok aku pake mahtoka princess, kan?” tanya Danishi merujuk pada suntiang Minang yang akan dikenakan.

“Mah-ko-ta.” Cello mengeja kata yang diucap terbalik. “Namanya suntiang. Asalnya dari Sumatera Barat.”

“Besok aku pake, kan?” Danishi mengulang tanyanya tanpa mengindahkan penjelasan sang guru. Cello pun mengiyakan.

“Anais juga?” Bocah perempuan itu ikut memastikan.

“Iya. Besok, semua murid perempuan pake suntiang. Pake mahkota.”

Kedua murid perempuan itu pun bersorak riang sambil berpegangan tangan. Mereka berputar-putar sambil berdendang riang.

“Miss, kata mami, besok aku ngasih bunga buat mami, ya?” Kali ini Elroi bertanya. Cello pun membenarkan.

“Bunga apa, Miss? Beli di mana?” kejarnya.

“Bunga mawar atau yang lain. Nanti Miss yang beliin bunganya.”

“Aku juga, Miss?” tanya Arkan.

“Iya. Besok semua murid kasih bunga untuk bunda, mama, atau mami, ya.” Cello menyebutkan berbagai sebutan yang digunakan murid-murid untuk memanggil wanita yang telah melahirkan mereka.

Ucapan Cello kembali disambut sorakan, kali ini dari seluruh murid Kelas Vega.

“Miss.” Arkan menarik lengan baju Cello. “Bunga buat bunda boleh yang warna kuning?”

“Kenapa?” tanya Cello heran.

“Bunda suka. Di rumah banyak bunga kuning.”

Sejenak Cello merenung. Sebenarnya, pihak sekolah tidak menentukan jenis dan warna bunga yang ingin diberikan. Setiap murid boleh mengajukan usul, bunga mawar, anggrek, krisan, anyelir, atau lili.

“Boleh ya, Miss,” desak Arkan.

Lihat selengkapnya