Stigma

Nita Simamora
Chapter #17

PERTEMUAN

Jumat itu, murid-murid diminta belajar di rumah. Hari itu, belasan wali murid telah duduk rapi di salah satu ruangan TK Bintang. Sebuah pertemuan antara pihak sekolah dan wali murid akan segera digelar. 

Ruang pertemuan hampir terisi penuh. Rere telah duduk rapi di kursi depan, layaknya seorang narasumber sebuah seminar. Di samping kanannya, layar proyektor memunculkan halaman awal materi yang telah dipersiapkan. Wanita itu tidak memiliki persiapan khusus untuk pertemuan hari itu. Apa yang akan dibicarakan, telah puluhan kali dia sampaikan di seminar-seminar lain. 

Di samping kiri Rere, Cello duduk dengan gugup. Dalam pertemuan itu, ia didaulat sebagai moderator. Hatinya diliputi oleh kecemasan atas apa yang akan terjadi sepanjang pertemuan. Terlebih lagi pada keputusan yang akan dihasilkan. Wanita itu terus berdoa, agar setiap pihak menerima Arkan untuk melanjutkan sekolah di TK Bintang.

Pukul 09.30, pertemuan pun dimulai. Setelah membuka acara, Cello lalu mempersilahkan Rere untuk menyampaikan materi yang telah dipersiapkan. Dengan penuh kefasihan, Rere menjelaskan tentang HIV dan AIDS. Dia juga memaparkan tentang gejala, pengobatan, serta tentang penularan virus tersebut. 

Wanita itu juga mengulas bagaimana para ODHA maupun ADHA memiliki hak untuk hidup. Mereka juga sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan. Pemaparan dari Rere ditutup dengan sebuah surat keterangan dokter yang dikeluarkan dua bulan lalu. Surat yang ditayangkan di layar proyektor itu menyatakan status negatif Arkan. 

“Ayah dan Bunda, bisa dilihat dari lembaran ini bahwa anak saya negatif. So, saya pastikan semua anak-anak di sekolah ini aman. Don’t be afraid,” ucap Rere di penuh penekanan.

Kalimat dari Rere itu membuat seisi ruangan berdesir. Beberapa orang tua mulai berbisik-bisik pelan. Mereka ingin menyanggah, tapi semua yang disampaikan sang narasumber tidak cacat logika.

“Apakah ada yang keberatan jika Arkan tetap sekolah di sini?” tanya Rere tanpa basa-basi. Dia melayangkan pandang ke seisi ruangan, mencari siapapun yang ingin membuat penolakan dan mengusir buah hatinya dari sekolah. 

Pertanyaan Rere membuat hadirin semakin terpojok. Di satu sisi mereka ingin menolak. Namun, di sisi lain mereka tidak memiliki alasan kuat untuk melakukan penolakan. Akhirny, para wali murid hanya mampu terdiam tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

Melihat situasi yang kasak-kusuk, Cello pun mengerling pada Kepala TK Bintang. Wanita itu mengisyaratkan agar sang pimpinan dapat mengambil alih suasana. Dara pun segera berjalan ke depan ruangan.  

“Ayah, Bunda,” sapa Dara untuk mengambil perhatian hadirin. Seluruh mata tertuju pada wanita paruh baya yang telah memimpin TK Bintang selama 10 tahun itu. 

“Kita sudah mendengar paparan dari Bunda Arkan. Kita juga sudah melihat hasil tes Arkan yang menyatakan bahwa dia negatif. Seperti kesepakatan awal, di pertemuan hari ini kita akan memutuskan satu hal penting.” Dara memberi jeda agar seluruh wali murid bisa mendengarkan pertanyaan yang akan dia ajukan.

“Apakah Ayah dan Bunda, mau berbesar hati serta mengijinkan anak-anak untuk terus belajar dan bermain bersama Arkan di sekolah ini?” tanya Dara. Wanita itu memandang seluruh hadirin, mencari jawaban dari sorotan mata mereka. Namun, tidak ada satupun yang mengungkapkan penolakan maupun persetujuan. Semuanya gamang memutuskan.

Dara menghela napas panjang. Wanita itu lalu berpaling pada Cello dan Rere. Keduanya juga menatap ke arah hadirin. Mereka menanti jawaban terucap dari mulut para wali murid. 

Dara kembali kembali berpaling pada para hadirin. Kali ini tatapannya tertuju pada para guru yang duduk di barisan belakang. “Guru-guru TK Bintang, apakah bersedia menerima, mengajar, dan membimbing Arkan di sekolah ini?”

Ketiga guru tersebut saling menatap satu sama lain. Tak dapat dipungkiri, mereka masih khawatir pada kondisi Arkan. Namun, nurani mereka sebagai pendidik seolah-olah mengunci bibir mereka untuk mengucapkan kalimat penolakan. Setelah jeda beberapa menit, ketiganya pun mengangguk meski berat.

Anggukan itu disambut dengan senyum Dara. Kepala sekolah itu lalu berpaling pada Cello yang segera mengangguk dengan penuh semangat. Saking semangatnya, Cello tak mampu menahan keinginan untuk menyampaikan pendapat. Ia segera meraih mikrofon.

Lihat selengkapnya