Stigma

Nita Simamora
Chapter #18

INSIDEN DARAH

Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan dengan para wali murid. Selama itu, Cello berusaha membuat Arkan sibuk sendiri. Ia menyiapkan berbagai permainan edukatif seperti puzzle, lego, hingga balok meronce. Semua dilakukan untuk meminimalisir kontak fisik antara Arkan dan teman-teman. Sesuai permintaan mayoritas orang tua murid.

Siang itu, Jule terlambat menjemput Arkan. Cello pun meminta Arkan menunggu sambil bermain sendiri. Dia duduk tenang di pojokan teras, bersama salah satu mainan favoritnya.

Gilang yang sedari tadi memperhatikan Arkan, mulai menghampiri. “Arkan, kok main sendiri?”

Arkan mengabaikan pertanyaan Gilang. Bocah itu terus asyik menyusun puzzle tata surya. Meskipun sudah berkali-kali memainkannya, tapi Arkan tidak merasa bosan.

Gilang kesal karena sikap tak acuh Arkan. Bocah itu ingin sekali bermain dengannya. Dia rindu pada hari-hari saat mereka bermain kejar-kejaran, diselingi dengan tawa ceria. Bocah berkulit sawo itu pun memutar otak, mencari ide agar sang teman mau mengejar. Lalu dia teringat, bunda dan teman-teman arisannya pernah menyebut Arkan, monster.

“Arkan monster. Nggak punya teman.” Gilang bersenandung. Bocah itu sengaja mengejek Arkan. Dia berharap sang teman marah, lalu mengejar.

Diejekan pertama, Arkan seolah-olah tidak peduli. Gilang geram, pancingannya tidak membuahkan hasil. Apa Arkan tidak mendengar? Bocah itu bertanya-tanya. Dia pun berusaha lebih keras, mengulang ejekan dengan jarak tubuh lebih dekat.

“Arkan monster. Nggak punya teman.” Gilang gigih mendengungkan senandung. 

Lama-kelamaan, Arkan geram. Dia tidak lagi fokus pada puzzle tata surya. Bocah itu meremas telapak tangan, sembari memicing pada Gilang. Giginya gemeletak. Kesabarannya musnah. Nasihat Cello tidak lagi dia pegang teguh. Dalam satu gerakan, diraih dan digigitnya lengan Gilang dengan kekuatan penuh.

“Arrghh!” Teriakan Gilang memenuhi udara. Suaranya membuat banyak mata berpaling. Termasuk Cello yang sedang berbincang dengan Vanya.

Bella yang sedang berdiri tak jauh dari lokasi, segera berlari menghampiri. Matanya terbelalak melihat apa yang dilakukan Arkan pada sang putra. Dengan refleks, wanita itu segera mendorong Arkan, membuatnya terjerembab ke belakang.

Dari sisi lain, Cello tergopoh-gopoh mendekati Gilang yang terus mengaduh. Wanita itu harus memastikan tidak ada masalah serius. Jika tidak, Arkan akan kembali mendapat masalah.

“Kok bisa digigit, sih? Ada yang luka nggak? Aduh, gimana kalo kamu tertular?” Bella mengeluh tanpa jeda. 

Kata-kata wanita itu membuat Cello merasa bersalah. Ia pernah mendengar bahwa gigitan berisiko menularkan virus HIV. Meskipun ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. 

Tiba-tiba Bella berpaling ke arah Cello. Dia menatap tajam pada sang guru. “Kalo ada apa-apa sama anak saya, saya akan tuntut Miss dan sekolah ini!” ancamnya.

Cello segera membuka lengan baju Gilang. Ia lalu meneliti bekas gigitan Arkan. Ketika tidak menemukan luka terbuka, wanita itu pun menghela napas lega. 

Akan tetapi, urusan ini belum usai. Ia tiba-tiba merasa sangat marah. Bagaimana mungkin Arkan mengabaikan nasihatnya? Terlebih lagi, berani menggigit Gilang? 

“Arkan!” panggil sang guru. Cello mengintip ke arah Arkan yang sedang terduduk. Ia tidak bisa melihat jelas karena terhalang punggung Bella.

Lihat selengkapnya