Mobil hitam Vanya sampai di halaman parkir klinik umum terdekat. Dengan tergopoh, Jule keluar dan membuka pintu di samping Cello. Wanita itu segera mengambil alih tubuh Arkan. Dia tidak ingin merepotkan sang guru untuk menggendong anak majikannya. Sedangkan Vanya sudah lebih dulu masuk ke klinik dan memberitahu petugas agar bersiap-siap.
Saat Cello, Jule, dan Arkan memasuki klinik, seorang perawat segera mengarahkan ke ruang periksa. Kondisi klinik sangat sepi. Arkan adalah satu-satunya pasien yang datang.
“Tunggu sebentar di sini, ya, Bu. Dokter Adam sedang siap-siap,” ucap sang perawat sambil membantu Arkan berbaring di ranjang. Dia melihat sekilas luka Arkan, lalu beranjak untuk mempersiapkan perlengkapan medis.
“Miss … takut,” isak Arkan.
Cello yang tadinya berniat keluar ruangan, terpaksa bertahan di samping ranjang. Wanita itu memijat pelan pergelangan tangan Arkan untuk mengurangi kecemasan. Satu hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Ia juga mendongengkan kisah kuda laut untuk mengalihkan perhatian bocah itu.
Tidak lama kemudian, seorang dokter paruh baya memasuki ruangan. “Mohon maaf sudah membuat menunggu,” ucap sang dokter dari ambang pintu.
Menyadari kehadiran sang dokter, Cello buru-buru melepaskan genggaman Arkan. Wanita itu segera meraih lengan Adam dan menyeretnya ke luar ruangan.
“Ada apa, Bu?” tanya Adam heran.
“Murid saya … luka di sini.” Cello menunjuk bagian dagunya.
“Iya, Suster Sally sudah bilang. Kemungkinan lukanya harus dijahit. Nanti-”
“Dok,” potong Cello, mengabaikan penjelasan sang dokter. Ia menghela napas lalu berkata ragu-ragu, “Murid saya itu … dia anak dari penderita HIV.”
Adam mengernyit, tapi segera mengangguk sambil tersenyum. “Saya tahu. Rere itu teman saya. Kalo sakit, mereka sering ke sini. Saya juga tahu status Arkan negatif. Jadi, ibu guru tenang saja. Jangan terlalu paranoid.” Dokter itu lalu berjalan menuju ruang tindakan.
Cello bergeming di tempatnya berdiri. Kalimat terakhir Adam masih terngiang. Wanita itu tiba-tiba teringat sikapnya pada Arkan selama dua minggu terakhir. Ia sering menghindari kontak fisik, bahkan tidak lagi memeluk sang murid. Ia teringat keragu-raguan saat melihat darah mengalir dari luka Arkan, jauh berbeda dengan kesigapan Jule. Mungkinkah selama ini ia terlalu berlebihan pada Arkan?
Dengan tertatih, wanita itu beranjak ke pintu yang terbuka lebar. Di sana, wajah-wajah tulus sedang berjuang mengobati luka Arkan. Beberapa kali bocah lelaki itu terisak saat sang dokter melakukan tindakan. Jule memeluk kaki dan tangan Arkan. Sementara sang perawat mempertahankan posisi kepala Arkan.
Tidak terasa, air mata Cello mengalir. Begitu berat hari yang dilalui sang murid. Apakah insiden ini akan menjadi yang terakhir? Ataukah sang murid akan terus menjadi monster menakutkan? Bahkan tanpa sadar, ia pun memperlakukannya seperti monster.
“Miss, Arkan nggak apa-apa, kan? Besok Arkan bisa sekolah lagi, kan?”
Suara Elroi menghentikan lamunan Cello. Wanita itu segera menyeka kedua pipi. Dipandanginya murid berambut ikal yang sedang menatap sang sahabat dari kejauhan. Cello pun segera berlutut.
“Mungkin besok Arkan nggak masuk. Arkan kan harus istirahat dulu.” Cello mencoba memprediksi apa yang akan terjadi esok hari.