Sudah sebulan sejak insiden jatuhnya Arkan. Selama itu pula, sang murid tidak pernah hadir di sekolah. Cello telah berulang kali menghubungi Rere, maupun Jule, tapi tidak pernah berhasil.
Ketidakhadiran Arkan membawa suasana yang berbeda di kelas. Cello lebih mudah dalam mengendalikan murid-murid. Kegiatan pembelajaran berjalan lebih kondusif. Bahkan pertengkaran nyaris tidak terjadi. Namun, entah kenapa semua itu terasa janggal. Di minggu pertama, murid-murid Kelas Vega masih sering bertanya tentang absennya Arkan. Namun, di minggu setelahnya mereka seolah-olah menganggap hal itu biasa.
Ketidakhadiran Arkan akan kembali terasa saat latihan pentas akhir tahun ajaran. Posisi Arkan saat bernyanyi dan menari, terus-menerus kosong. Ketidakhadiran Arkan membuat Elroi gusar karena harus berlatih tari dengan udara. Seharusnya, Elroi berpasangan dengan Arkan dalam penampilan tari.
Beberapa guru telah menyarankan perubahan posisi dan gerak tari. Namun, Cello berkeras menolak. Ia masih berharap, Arkan akan hadir di pentas akhir tahun yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.
“Miss, kalo Arkan nggak datang pentas, gimana?” tanya Elroi di satu kesempatan.
“Elroi nari sama udara!” seru Gilang. Bocah itu lalu terpingkal setelah mengatakannya.
Cello melirik hendak marah, tapi segera ditahannya. Tidak ada yang salah dengan jawaban Gilang. Bukankah anak kecil selalu berkata jujur?
“Benar, Miss?” Elroi harap-harap cemas.
“Nggak. Elroi pasti punya pasangan saat nari nanti,” ucap Cello sambil tersenyum.
“Janji, Miss?”
Cello mengangguk seraya mengulurkan kelingking kanannya. Dalam hati, wanita itu berjanji akan melakukan apapun untuk menepati janji.
***
Seminggu sebelum pementasan, Arkan masih juga tidak hadir ke sekolah. Rere dan Jule belum juga bisa dihubungi. Cello hampir-hampir menyerah meskipun kata itu tidak ada dalam kamusnya. Akhirnya, dengan niat teguh ia pun menyambangi rumah Arkan.
Rumah yang ia tuju berada di dalam kompleks yang tidak jauh dari sekolah. Dengan mengandalkan memori, ia mulai mencari rumah Arkan. Tampilan depan rumah-rumah di kompleks tersebut hampir sama. Namun, Cello yakin bisa menemukan rumah sang murid.
Selembar spanduk menyambut Cello saat tiba di depan pagar rumah Arkan. Satu hal yang tidak pernah ia bayangkan.
“Dijual?” gumam Cello.
Awalnya wanita itu mengira salah alamat. Apalagi nomor telepon yang tertera di spanduk, bukanlah nomor Rere. Wanita itu terpaku beberapa waktu, hingga seorang pedagang mie ayam menegurnya.
“Ibu mau beli rumah ini?”
Cello tersadar dari lamunan. “Enggak, Pak.”
“Oh, kirain mau beli. Biar saya hubungin ke pemiliknya. Lumayan, saya bisa dapat persenan dari Bu Rere,” ucap pedagang itu dengan nada kecewa. Dia pun kembali melanjutkan perjalanan mendorong gerobak berwarna biru.
“Pak!” panggil Cello. “Ini beneran rumah Bu Rere, kan?”
Sang pedagang mengangguk.
“Yang nama anaknya Arkan?”
“Iya, Bu. Yang anaknya bandel banget.” Pedagang itu menjawab ketus, lalu kembali mendorong gerobak.
Cello menatap kepergian sang pedagang. Tidak ada pilihan lain, ia harus mendapatkan informasi dari siapapun. Namun, wanita itu sadar ia harus melakukan pendekatan.
“Pak!” panggilnya. “Bikinin mie ayam dua porsi, ya. Dibungkus.”
Wajah ketus pria paruh baya itu berubah menjadi senyum semringah. Dia segera memarkir gerobak biru dan mulai meracik mie ayam pesanan. Cello pun bergegas mendekat.
“Ngomong-ngomong, rumah Bu Rere kok sepi ya, Pak?”
“Iya, Bu. Udah hampir sebulan rumah ini kosong. Kata si Jule, Bu Rere sama anaknya, mau pindah,” tukas sang pedagang sambil memasukkan mie ke dalam panci.
“Pindah ke mana, Pak?”
“Mana saya tahu, Bu. Ibu kaya wartawan aja.” Sang pedagang cengengesan.