Stigma

Ron Nee Soo
Chapter #1

Prolog: Keresahan

Udara desa itu terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Wahyu menatap langit yang mulai menggelap, warna jingga dan ungu bercampur menjadi lukisan alam yang indah namun sendu. Di usia tiga puluh tahun, stigma masyarakat mulai menjadi beban yang tak tertahankan. Label "perjaka tua", tatapan kasihan, dan bisik-bisik tetangga seolah menjadi lagu latar yang terus mengiringi kesendiriannya.

Desa ini, tempat ia kembali setelah bertahun-tahun merantau di kota, seolah menjadi panggung sandiwara yang mempermalukan. Semua teman sebayanya telah membangun rumah tangga, tawa anak-anak mereka memecah keheningan, sementara ia masih terombang-ambing dalam gelombang pencarian. Pertanyaan kapan menikah, perbandingan dengan teman sebaya, dan anggapan bahwa ia tidak normal semakin memperdalam luka hatinya.

Dulu, Wahyu percaya bahwa cinta akan datang dengan sendirinya, seperti matahari terbit yang tak pernah gagal menyapa pagi. Ia fokus pada karirnya sebagai penulis skenario, menciptakan dunia-dunia fiksi yang penuh dengan romansa dan kebahagiaan. Namun, kenyataan hidupnya jauh berbeda. Kata-kata indah yang ia tulis di layar komputer, seolah mengejek kesendiriannya sendiri. Pandangan bahwa pria sukses harus memiliki keluarga, anggapan bahwa ia terlalu pemilih, dan spekulasi tentang masa lalunya semakin memperburuk citranya di mata masyarakat.

Dzaki, sahabatnya yang pernah mondok di pesantren, pernah berkata, "Cinta itu bukan tentang mencari yang sempurna, tapi tentang menemukan yang menerima ketidaksempurnaanmu." Kata-kata itu terngiang di telinga Wahyu, namun ia merasa semakin jauh dari pemahaman itu. Setiap kali ia mencoba mendekati seorang wanita, bayang-bayang penolakan selalu menghantuinya, seperti kabut yang menghalangi pandangan. Ketakutan akan penolakan karena statusnya, kekhawatiran akan dianggap tidak mapan, dan trauma dari hubungan masa lalu membuatnya semakin sulit untuk membuka hati.

Di tengah tekanan sosial dan keraguan diri, Wahyu merasa seperti berjalan di persimpangan jalan yang gelap. Ia ingin menemukan cinta, ingin merasakan kehangatan sebuah keluarga, namun ia takut terluka lagi. Ia takut bahwa stigma masyarakat akan menjadi beban abadi yang menghalanginya untuk bahagia. Rasa malu karena belum menikah, ketakutan akan kesepian di masa tua, dan perasaan terasingkan dari lingkungan sosial membuatnya semakin putus asa.

Lihat selengkapnya