Stigma masyarakat menjadi beban utama dalam kehidupan Wahyu. Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia belum juga menemukan pendamping hidup. Hal ini membuatnya menjadi bahan gunjingan tetangga dan teman-teman sebayanya. "Kenapa belum menikah?", "Terlalu nyaman sendiri ya?", dan bahkan candaan dari temannya sendiri "Wahyu, kau normal kan?", adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering ia dengar. Wahyu dituduh tidak normal karena tidak pernah dekat dengan perempuan. Padahal, ia hanya berprinsip bahwa pacaran itu dosa.
Tiga puluh tahun. Angka yang sakral bagi sebagian orang, namun hambar bagi Wahyu. Di usia itu, hampir semua teman-temannya sudah sibuk mengurus anak dan cicilan rumah, sementara ia masih berkutat dengan naskah film yang tak kunjung rampung. Bukan karena ia tak laku, justru sebaliknya. Banyak wanita yang tertarik pada pria dengan pembawaan tenang dan wajah teduh itu. Tapi Wahyu punya prinsip, wanita akan datang saat ia sudah mapan. Prinsip yang ditanamkan oleh Dzaki, sahabatnya sejak kuliah.
Dzaki, dan Wahyu kembali menjadi teman dekat karena tempat kerja yang sama. Di desa mereka berdua bekerja di sebuah sekolah madrasah swasta sederhana. Karena status sebagai khonorer Wahyu dan Dzaki memiliki sampingan yang berbeda. Wahyu menulis skenario film sedangkan Dzaki punya ternak kolam ikan di dekat rumahnya.
Usia mereka hanya beda satu tahun, tetapi Dzaki selalu punya jawaban untuk setiap masalah, selalu punya nasihat yang terdengar bijak, dan selalu berhasil membuat Wahyu merasa lebih baik setelah bicara dengannya.
"Mapan itu relatif, Wahyu," kata Dzaki, suatu malam di warung kopi, sambil menyeruput kopi hitamnya. "Dulu kau bilang, wanita itu seperti layangan, harus ditarik ulur. Sekarang, layanganmu sudah terbang entah ke mana."
Wahyu hanya tersenyum kecut. Ia ingat masa kuliah, saat Dzaki menasihatinya tentang pacaran. "Pacaran itu dosa, Wahyu. Dekati saja walinya, langsung lamar." Nasihat yang terdengar kuno, tapi entah kenapa, Wahyu mengikutinya. Ia percaya, Dzaki tahu apa yang terbaik untuknya.
Dzaki adalah sosok yang kompleks. Di balik kesalehannya, tersimpan jiwa pemberontak yang terpendam. Ia pernah bercerita tentang masa lalunya di pesantren, tentang aturan-aturan ketat yang membuatnya merasa terkekang. Mungkin, karena itulah ia selalu berusaha menasihati Wahyu, agar sahabatnya itu tidak mengulangi kesalahan yang sama.
"Kau terlalu idealis, Wahyu," kata Dzaki, suatu hari saat mereka berdua sedang memancing di sungai. "Kau pikir, semua wanita itu seperti bidadari yang turun dari langit? Kau salah. Wanita itu manusia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya."
Wahyu terdiam, menatap pelampung yang bergerak-gerak di permukaan air. Ia tahu, Dzaki benar. Ia terlalu lama hidup dalam dunia khayal, dunia yang ia ciptakan sendiri dalam naskah-naskah filmnya. Ia lupa, bahwa dunia nyata tidak seindah yang ia bayangkan.