Kebahagiaan Wahyu setelah Siti menerima lamarannya tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, Siti meminta untuk bertemu di sekolah kopi. Tempat nongkrong yang cukup terkenal di desa. Mereka pun berdiskusi sambil makan sate padang.
"Wahyu, ada sesuatu yang harus kubicarakan," kata Siti, suaranya bergetar.
Wahyu merasakan firasat buruk. Ia berusaha menangkap maksud dari wanita Sunda itu. "Ada apa, Siti?" tanyanya cemas.
"Aku... aku belum siap menikah," kata Siti, menundukkan kepala. "Aku diminta orang tuaku untuk menyelesaikan kuliahku dulu."
Siti memutuskan untuk kuliah lagi. Karena jurusannya waktu itu bukanlah pendidikan. Karena ia bekerja sebagai guru, ia akhirnya memutuskan kuliah lagi. Saat ini dirinya sudah memasuki semeseter empat.
Wahyu terdiam. Ia yang semula sangat lahap makan sate, tiba-tiba terhenti. Satu tusuk sate yang sedang ia gigit di mulutnya. Ia letakkan kembali. Ia tidak menyangka, Siti akan mengatakan hal itu. Ia merasa, harapannya hancur berkeping-keping.
"Tapi, Siti, kau sudah menerima lamaranku kemarin," kata Wahyu, suaranya pelan.
"Aku tahu, Wahyu," kata Siti, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Setelah berdiskusi dengan keluargaku di rumah. Ternyata aku...belum siap."
Wahyu menghela napas panjang. Ia berusaha menahan amarah dan kekecewaannya. Ia tahu, ia tidak bisa memaksa Siti. Sambil memandangi sekitar, ia berusaha untuk memahami keadaan Siti. Meski ingin menikah, mereka sadar pernikahan bukan hanya tentang mereka berdua. Tetapi juga melibatkan keluarga.
"Baiklah, Siti," kata Wahyu, suaranya datar. "Aku mengerti. Aku akan menunggu."
Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Meski kecewa, sebisa mungkin ia tidak ingin membuat Siti merasa semakin tertekan.
Siti menatap Wahyu dengan rasa bersalah. "Terima kasih, Wahyu. Kau memang pria yang baik."
Wahyu tersenyum tipis. "Tidak masalah, Siti. Aku mencintaimu, dan aku akan menunggumu."
Sebuah kebohongan demi kebaikan, pikir Wahyu kala itu. Jika Wahyu mengatakan hal lain. Mungkin Siti akan lebih terluka. Ia tahu Siti kebih menginginkan sebuah pernikahan, tetapi sebagai anak yang berbakti Siti tidak ingin menentang keputusan kedua orang tuanya. Wahyu tersenyum, berpura-pura baik-baik saja.
Dengan air mata yang terus menetes, Siti terdiam cukup lama. Orang-orang disekitar memperhatikan mereka. Wahyu tidak berani memeluk Siti, meski ia ingin menenangkan wanita itu. Meski dia sering menyatakan perasaan kepada wanita yang baru ditemuinya, Wahyu selalu merasa diperhatikan Tuhan. Ia takut Tuhan marah kepadanya.
Ia pun memanggil temannyanya, yang bekerja di tempat itu.
"Ma... sini dulu,"