Stigma

Ron Nee Soo
Chapter #7

Bab 6: Dilema

Mentari pagi di desa itu menyapa Wahyu dengan lembut, sinarnya menerobos kabut tipis yang menyelimuti sawah. Namun, di balik kehangatan itu, hati Wahyu terasa dingin, seperti embun yang enggan menguap. Kegagalan demi kegagalan dalam mencari cinta—bersama Ayna, Sri, dan Siti—telah meninggalkan luka halus di jiwanya, luka yang tak tampak namun terasa setiap kali ia mencoba membuka hati.

Dzaki, sahabat yang selalu penuh nasihat, telah berulang kali mendorongnya untuk tidak menyerah. Kini, giliran Janatan dan Yusuf, dua sahabat yang tak pernah kehabisan semangat, mengambil alih. Dengan penuh antusiasme, mereka memperkenalkan Wahyu pada dua gadis bersaudara dari desa, Rina dan Rani. Rina, yang lebih tua, memancarkan kelembutan seperti aliran sungai yang tenang, sementara Rani, adiknya, adalah kobaran api kecil yang ceria, penuh tawa dan semangat.

“Rina itu ibu-able banget, Yu,” ujar Janatan sambil menepuk pundak Wahyu dengan penuh keyakinan. “Tapi Rani juga asyik, loh. Cocok buat nemenin hidup yang penuh warna.”

Wahyu hanya tersenyum tipis, namun di dalam dadanya, ia merasa seperti aktor dalam drama yang tak kunjung usai. Ia merasa terjebak dalam audisi cinta yang disutradarai oleh sahabat-sahabatnya. Meski begitu, ia tak bisa menolak. Ada utang budi pada Janatan dan Yusuf, dan di sudut hatinya yang paling sunyi, ia masih menyimpan secercah harapan untuk menemukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan itu.

Pertemuan pertama dengan Rina berlangsung di beranda rumahnya yang sederhana. Angin sepoi-sepoi membawa aroma teh hangat yang disuguhkan Rina, disertai piring berisi kue-kue tradisional yang harum. Mereka berbincang tentang kehidupan desa, tentang impian sederhana, dan tentang nilai-nilai yang Rina junjung tinggi: keluarga yang harmonis, anak-anak yang saleh, dan kehidupan yang penuh makna. Rina berbicara dengan nada yang lembut namun teguh, seperti membaca puisi yang ditulis dari hati.

Wahyu terpikat pada ketenangan Rina. Ada sesuatu dalam caranya menatap dunia—dengan penerimaan dan keikhlasan—yang membuatnya merasa damai. Namun, di balik ketenangan itu, ia merasakan ada dinding tak kasat mata, sebuah keraguan yang tak bisa ia jelaskan. Apakah Rina adalah pelabuhan yang ia cari, atau hanya tempat singgah sementara?

Lihat selengkapnya