Setelah serangkaian kekecewaan dalam pencarian cinta di desa, yang ditandai dengan kegagalannya menjalin hubungan dengan Rani dan Rina, Wahyu merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Dua pengalaman itu meninggalkan luka di hatinya, membuatnya mempertanyakan apakah ia memang ditakdirkan untuk menemukan cinta sejati di desa kecil tempat ia menghabiskan beberapa bulan terakhir.
Sebagai seorang penulis skenario yang biasa hidup dalam hiruk-pikuk kota, Wahyu mulai merasa panggilan untuk kembali ke rutinitas lamanya di Jakarta, tempat ia bisa tenggelam dalam naskah-naskahnya dan melupakan kegalauan hatinya. Namun, di balik keinginan itu, ada kekosongan yang semakin terasa di dadanya. Kesendiriannya bukan lagi sekadar keadaan, melainkan beban yang menekan setiap malam ketika ia duduk sendirian di teras rumah kontrakannya, menatap langit desa yang penuh bintang namun terasa hampa.
Suatu malam, dalam suasana hati yang lesu, Wahyu memutuskan untuk mengisi waktu dengan membuka aplikasi kencan daring di ponselnya. Awalnya, ia tidak memiliki ekspektasi apa pun—hanya iseng, sekadar pelarian dari rutinitas yang monoton. Ia menggulir layar, melihat puluhan profil dengan foto dan deskripsi yang beragam. Ada yang terlihat mencolok, ada pula yang biasa saja. Namun, di antara lautan wajah-wajah asing itu, matanya tertahan pada satu profil: seorang wanita bernama Dwi. Foto profilnya sederhana, menampilkan senyum hangat yang terasa tulus, dengan mata yang teduh seolah menyimpan cerita yang mendalam. Deskripsi di profilnya singkat namun memikat: “Mencari teman bicara yang asyik. Tidak suka drama, tapi suka kopi dan cerita tentang hidup.”
Wahyu merasa ada sesuatu yang berbeda dari Dwi. Tanpa banyak berpikir, ia mengetik pesan sapaan sederhana: “Hai, Dwi. Kayaknya kita punya selera yang sama soal kopi. Cerita favoritmu tentang hidup apa?” Ia mengirim pesan itu tanpa harapan besar, berpikir mungkin Dwi akan membalas dalam beberapa jam, atau bahkan tidak membalas sama sekali. Namun, tak disangka, hanya dalam hitungan menit, ponselnya bergetar. Dwi membalas dengan nada ramah dan santai, “Haha, kopi adalah penyelamatku setiap pagi! Cerita favoritku? Mungkin tentang hari-hari mengajar anak-anak yang bikin capek tapi bahagia. Kamu punya cerita apa?”
Dari situlah percakapan mereka dimulai. Obrolan yang awalnya ringan tentang kopi dan film favorit segera berkembang menjadi diskusi yang lebih dalam. Mereka berbicara tentang film klasik yang sama-sama mereka sukai, tentang buku-buku yang menginspirasi mereka, hingga mimpi-mimpi yang mereka simpan di sudut hati. Dwi, ternyata, adalah seorang guru honorer di sebuah kota kecil, sekitar tiga jam perjalanan kereta dari tempat Wahyu tinggal. Ia bercerita dengan penuh semangat tentang anak-anak didiknya, tentang betapa ia mencintai mengajar meski gajinya sebagai guru honorer jauh dari layak. Ia juga berbagi mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, meski ia tahu itu bukan perjalanan yang mudah dengan keterbatasan finansialnya.
Wahyu, di sisi lain, merasa nyaman berbagi tentang kehidupannya sebagai penulis skenario. Ia menceritakan bagaimana ia sering begadang untuk menyelesaikan naskah, tentang tekanan dari produser yang kadang membuatnya frustrasi, dan tentang momen-momen ketika sebuah cerita yang ia tulis akhirnya hidup di layar lebar. Ia juga berterus terang tentang kerinduannya untuk menemukan seseorang yang benar-benar memahami jiwanya, seseorang yang bisa menjadi rumah baginya. Dwi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan tanggapan yang bijak atau lelucon ringan yang membuat Wahyu tersenyum lebar.