Setelah hubungan jarak jauhnya dengan Dwi memasuki babak baru, Wahyu merasakan campuran emosi yang kompleks. Ada secercah optimisme yang muncul dari keputusan Dwi untuk mencoba menjalani hubungan ini, namun di sisi lain, ketidakpastian yang dibawa oleh jarak ratusan kilometer antara desa tempat tinggalnya dan kota tempat Dwi berada membuatnya gelisah. Wahyu merindukan kehadiran fisik Dwi—sentuhan tangannya, tawa yang hanya bisa dirasakan sepenuhnya saat berada di dekatnya, atau tatapan mata yang penuh makna. Meski mereka sering berbicara melalui panggilan video, layar ponsel itu terasa seperti dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Setiap kali Dwi tersenyum di layar, Wahyu merasa hatinya hangat, tetapi sekaligus perih karena ia tidak bisa benar-benar berada di sisi wanita itu, hanya bisa melihatnya dari beranda rumah kayu sederhananya di desa, ditemani suara jangkrik dan angin malam yang sejuk.
Untuk mengalihkan pikirannya dari kerinduan yang kian membesar, Wahyu memutuskan untuk kembali menyelami dunianya sebagai penulis skenario. Ia menghabiskan hari-harinya di beranda rumah kontrakannya yang menghadap ke sawah, dikelilingi buku-buku dan catatan, menciptakan karakter-karakter baru dan alur cerita yang terinspirasi dari kehidupan desa. Menulis baginya adalah pelarian, sebuah cara untuk mencurahkan emosi yang tak bisa ia ungkapkan langsung. Di bawah naungan pohon kelapa di halaman, dengan aroma tanah basah setelah hujan, ia menuangkan kegelisahannya ke dalam naskah-naskah yang penuh intrik. Namun, di sela-sela kesibukannya, ia tetap menyisakan ruang di hatinya untuk kemungkinan baru. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Dwi, meski penuh harapan, terasa rapuh. Salah satu hal yang mengganggunya adalah Dwi jarang sekali menghubunginya lebih dulu. Pesan-pesan mereka sering dimulai dari Wahyu, dan meski Dwi selalu merespons dengan hangat, Wahyu mulai bertanya-tanya: apakah ia benar-benar berarti bagi Dwi, atau hanya sekadar pengisi waktu luang di sela-sela kesibukan Dwi di kota?
Rasa ragu itu membuatnya merasa terluka, tetapi Wahyu bukan tipe orang yang tenggelam dalam kesedihan terlalu lama. Ia memutuskan untuk move on, bukan dengan menutup hatinya, tetapi dengan membuka diri pada dunia yang ada di sekitarnya, meski ia masih berada di desa. Ia mulai aktif menghadiri acara-acara komunitas lokal, seperti diskusi sastra yang diadakan di balai desa atau lokakarya menulis yang diselenggarakan oleh kelompok pemuda setempat. Salah satu acara yang ia hadiri adalah diskusi sastra di sebuah warung kopi sederhana di pinggir desa, tempat warga berkumpul untuk berbagi cerita dan puisi di bawah lampu minyak yang temaram. Di sanalah ia bertemu dengan Putri, seorang penulis muda yang datang dari desa tetangga dan langsung mencuri perhatiannya.
Putri memiliki aura yang berbeda. Rambutnya yang tergerai rapi, diikat dengan kain batik sederhana, dan matanya yang berbinar saat membicarakan sastra membuatnya menonjol di antara kerumunan. Ia baru saja menerbitkan sebuah kumpulan cerpen yang terinspirasi dari kehidupan pedesaan, yang mendapat banyak pujian dari komunitas lokal. Selama diskusi, Wahyu dan Putri terlibat dalam percakapan yang mengalir begitu alami. Mereka berbicara tentang karya-karya penulis lokal, seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer, hingga puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang menggambarkan keindahan sederhana kehidupan. Mereka juga berbagi pandangan tentang bagaimana desa bisa menjadi sumber inspirasi yang kaya untuk seni. Wahyu terpesona oleh kecerdasan Putri dan caranya menyampaikan ide dengan penuh semangat namun tetap rendah hati. Ada koneksi yang ia rasakan, sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang di tengah suasana desa yang tenang.