Stigma

Ron Nee Soo
Chapter #10

Bab 9: Luka

Setelah pengalaman pahit dengan Putri, Wahyu merasa lelah dengan drama percintaan yang seolah tak pernah memberinya kebahagiaan yang ia cari. Kekecewaan demi kekecewaan membuatnya ingin menarik diri dari urusan hati dan fokus pada hal-hal yang lebih pasti dalam hidupnya: pekerjaannya sebagai penulis skenario dan kedamaian dalam kesendirian di desa kecil tempat ia tinggal. Di desa yang dikelilingi sawah hijau dan suara gemericik sungai, Wahyu menemukan ketenangan dalam rutinitas sederhana seperti menulis di beranda rumah kayu kontrakannya, membaca buku di bawah pohon kelapa, atau berjalan menyusuri pematang sawah saat matahari terbenam. Baginya, kesendirian adalah tempat berlindung, sebuah ruang aman di mana ia bisa mengendalikan emosinya tanpa takut terluka lagi. Namun, takdir, sebagaimana sering terjadi, memiliki cara sendiri untuk mengacaukannya.

Janatan, sahabat Wahyu yang selalu punya ide-ide tak terduga, tidak pernah lelah mencoba menjodohkan Wahyu, bahkan dari jauh melalui telepon dari kota. “Kamu nggak bisa hidup kayak petani penyendiri selamanya, Yu,” katanya suatu sore saat mereka mengobrol sambil mendengar suara ayam berkokok di latar belakang. Janatan kemudian menceritakan tentang Ika, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, yang kebetulan sedang berkunjung ke desa tetangga untuk proyek sosial perusahaan tempatnya bekerja. “Ika ini beda, bro. Dia cerdas, punya karir bagus, dan nggak ribet. Aku pikir kalian bakal cocok!” Meski awalnya ragu, Wahyu setuju untuk bertemu Ika, lebih karena desakan Janatan daripada keinginan sendiri.


Pertemuan pertama mereka berlangsung di sebuah warung makan sederhana di pinggir desa, tempat warga biasa berkumpul untuk menikmati nasi liwet dan teh manis. Ika tiba dengan langkah tegas, mengenakan kemeja putih yang kontras dengan suasana desa yang sederhana. Rambutnya yang dipotong pendek dan sorot matanya yang tajam namun hangat langsung menarik perhatian Wahyu. Ika adalah manajer di sebuah perusahaan teknologi di kota, tetapi sedang berada di desa untuk mengelola proyek pelatihan digital bagi petani lokal. Dari cara ia berbicara, Wahyu bisa merasakan kecerdasannya. Mereka menghabiskan sore itu dengan berbincang tentang pekerjaan—Ika bercerita tentang tantangan mengenalkan teknologi kepada petani yang lebih terbiasa dengan cara tradisional, sementara Wahyu berbagi pengalamannya menulis skenario untuk film indie yang sering terinspirasi dari kehidupan desa. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, bercampur dengan tawa saat Ika melemparkan lelucon cerdas tentang aplikasi pertanian dan Wahyu membalas dengan cerita lucu tentang bagaimana ia pernah tersesat di sawah saat mencari inspirasi.

Wahyu merasa terpesona oleh Ika. Ia bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki selera humor yang sesuai dengan seleranya—kombinasi langka yang membuatnya merasa seperti bertemu seseorang yang setara. Mereka mulai sering bertemu di desa, kadang untuk minum kopi di warung dekat balai desa, kadang berjalan-jalan di tepi sawah sambil mendiskusikan hobi atau impian mereka. Ika bercerita tentang mimpinya untuk membuka usaha sosial yang bisa membantu desa-desa terpencil, sementara Wahyu berbagi visinya untuk menulis film yang mengangkat cerita-cerita otentik dari kehidupan pedesaan. Ada chemistry yang terasa nyata, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Wahyu merasa harapan itu kembali muncul.

Namun, di balik pesona dan kesuksesan Ika, Wahyu mulai menyadari adanya tembok tak kasat mata. Ika sangat berhati-hati dalam urusan hati. Setiap kali percakapan mereka mulai menyentuh topik yang lebih personal, seperti saat mereka duduk di bawah pohon beringin besar di ujung desa, Ika akan mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan nada yang sopan namun menjaga jarak. Suatu sore, saat mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi ilalang, Wahyu memberanikan diri bertanya, “Ika, kamu pernah nggak mikir buat serius sama seseorang?” Ika tersenyum tipis, tetapi matanya menunjukkan sedikit ketegangan. “Pernah, Wahyu. Tapi… aku punya pengalaman yang bikin aku takut untuk coba lagi.”

Lihat selengkapnya