Setelah serangkaian penolakan yang menyakitkan dari Dwi, Putri, Ika, dan Layla, Wahyu merasa jiwanya kosong, seperti kapal kayu tua yang terombang-ambing di lautan kesendirian tanpa arah yang jelas. Duduk di beranda rumah kayunya di desa, ditemani suara jangkrik dan angin malam yang membelai sawah, ia sering termenung, menatap langit berbintang, mencoba memahami di mana letak kesalahannya. Setiap penolakan terasa seperti pukulan yang meninggalkan luka kecil, namun bersamaan membentuk retakan besar di hatinya. Ia bertanya-tanya: mengapa cinta yang ia kejar selalu lolos dari genggamannya? Apakah ia tidak cukup baik? Ataukah ia mencari sesuatu yang salah di tempat yang salah?
Malam-malam panjang di desa menjadi saksi perenungannya. Di bawah lampu minyak yang temaram, Wahyu membuka buku catatannya, menuliskan setiap emosi yang berputar di kepalanya. Ia mengurai kembali pengalaman cintanya, dari kerinduan yang tak terbalas dengan Dwi, harapan yang pupus bersama Putri, hingga ketidakmampuan menembus tembok hati Ika dan Layla. Dalam refleksinya, ia mulai menyadari pola yang selama ini tidak ia lihat: ia terlalu fokus mencari cinta dari orang lain, berusaha menjadi pria ideal bagi wanita-wanita yang ia temui, hingga ia melupakan siapa dirinya sebenarnya. Ia menyadari bahwa dalam upayanya menyenangkan orang lain, ia telah kehilangan esensi dirinya sendiri.
Kesadaran ini membawa Wahyu pada sebuah keputusan besar: ia perlu jeda dari pencarian cinta. Ia ingin fokus pada dirinya sendiri, pada pengembangan diri, dan pada hubungannya dengan Tuhan. Di desa yang tenang, dikelilingi oleh sawah dan bukit-bukit kecil, ia menemukan ruang untuk mendekatkan diri pada spiritualitas. Ia mulai memperdalam ibadahnya, bangun sebelum fajar untuk sholat tahajud, duduk di tikar sederhana di sudut rumah sambil berdzikir, mencari ketenangan dalam doa-doa yang ia panjatkan. Setiap pagi, ia berjalan ke masjid desa, bergabung dengan warga lain dalam sholat subuh berjamaah, merasakan kedamaian dalam suara adzan yang menggema di antara hamparan sawah. Doa menjadi pelabuhannya, tempat ia mencurahkan kegelisahan dan harapan, mencari petunjuk untuk menata hati yang terluka.
Selain mendekatkan diri pada Tuhan, Wahyu juga mulai menekuni kembali hobi-hobi yang selama ini terabaikan di tengah kesibukannya mengejar cinta. Ia kembali menulis skenario dengan semangat baru, duduk di beranda rumahnya dengan laptop tua yang setia, menciptakan karakter-karakter yang kuat dan cerita-cerita yang terinspirasi dari kehidupan desa. Ia menulis tentang seorang petani yang berjuang melawan kerasnya musim, tentang anak-anak desa yang bermimpi besar meski terbatas oleh sumber daya, tentang keindahan sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang sering terlupakan. Menulis menjadi caranya untuk menyembuhkan diri, mengubah luka menjadi narasi yang bermakna.